Pansus Angket Pastikan Tak Merevisi UU KPK

Salah satu rekomendasinya diketahui tidak mengusulkan Pansus Angket untuk merevisi UU KPK. Alasannya sederhana, agar tak membuat gaduh.

oleh Muhammad Radityo Priyasmoro diperbarui 01 Feb 2018, 06:24 WIB
Anggota Pansus Angket KPK, Arsul Sani menghadiri sidang lanjutan perkara pengujian UU MD3 terkait hak angket di Gedung MK, Jakarta, Selasa (5/9). Sidang menghadirkan Mantan Komisioner KPK, Bambang Widjojanto sebagai saksi ahli. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Anggota Pansus Angket KPK Arsul Sani memastikan, 14 Februari 2018 menjadi masa akhir kerja timnya. Sejauh ini dapat dipastikan ada 11 temuan yang akan dibawa sebagai bahan masukan.

"Di akhir masa sidang ini, terakhir kita 14 Februari. Ada 11 temuan yang kemarin masih sama," kata dia usai diskusi RUU KUHP Korupsi di Kantor PBNU, Jakarta Pusat, Rabu (31/1/2018).

Arsul menjelaskan, dalam salah satu rekomendasinya diketahui tidak mengusulkan Pansus Angket untuk merevisi UU KPK. Alasannya sederhana, agar tak membuat gaduh.

"Ya itu (tidak bikin gaduh)," tegas dia.

Kendati, bila dalam rumusan temuan final memang terbukti ada unsur penyimpangan, Pansus Angket KPK menegaskan untuk meminta penegak hukum bertindak sesuai kewenangannya.

"Ya misal ada hal itu, kalau temuannya bersifat pidana kita serahkan ke kepolisian atau ke kjaksaan," dia memungkasi.

Pansus Angket KPK menyampaikan 11 poin temuan sementara selama menjalankan tugas penyelidikan terkait tugas dan kewenangan KPK, yaitu:

1. Dari aspek kelembagaan, KPK bergerak menjadikan dirinya sebagai lembaga superbody yang tidak siap dan tidak bersedia dikritik dan diawasi, serta menggunakan opini media untuk menekan para pengkritiknya.

2. Kelembagaan KPK dengan argumen independennya mengarah kepada kebebasan atau lepas dari pemegang cabang-cabang kekuasaan negara. Hal ini sangat mengganggu dan berpotensi terjadinya abuse of power dalam sebuah negara hukum dan negara demokrasi sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.

3. KPK yang dibentuk bukan atas mandat Konstitusi, akan tetapi UU Nomor 30 Tahun 2002 sebagai tindak lanjut atas perintah Pasal 43 UU 31 Tahun 1999 sebagai pengganti UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sudah sepatutnya mendapatkan pengawasan yang ketat dan efektif dari lembaga pembentuknya di DPR secara terbuka dan terukur.


Temuan Pansus Angket

Ketua Panitia Khusus Hak Angket KPK, Agun Gunandjar Sudarsa (kedua kiri) memberikan keterangan pers di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta, Selasa (17/10). Hari ini, KPK kembali mangkir dalam agenda rapat kerja dengan Pansus KPK. (Liputan6.com/Johan Tallo)

4. Lembaga KPK dalam menjalankan tugas, fungsi, dan kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK belum bersesuaian atau patuh atas asas-asas yang meliputi asas kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum dan proporsionalitas, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU KPK.

5. Dalam menjalankan fungsi koordinasi, KPK cenderung berjalan sendiri tanpa mempertimbangkan esksistensi, jati diri, kehormatan dan kepercayaan publik atas lembaga-lembaga negara, penegak hukum. KPK lebih mengedepankan praktik penindakan melalui pemberitaan (opini) daripada politik pencegahan.

6. Dalam hal fungsi supervisi, KPK Iebih cenderung menangani sendiri tanpa koordinasi, dibandingkan dengan upaya mendorong, memotivasi dan mengarahkan instansi Kepolisian dan Kejaksaan.

KPK cenderung ingin menjadi lembaga yang tidak hanya di pusat, tapi ingin mengembangkan jaringan sampai ke daerah. Yang sesungguhnya KPK dibentuk lebih pada fungsi koordinasi dan supervisi. Adapun penyelidikan, penyidikan dan penuntutan Iebih pada fungsi berikutnya atau "Trigger Mechanism".

7. Dalam menjalankan fungsi penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, KPK sama sekali tidak berpedoman pada KUHAP dan mengabaikan prinsip-prinsip hak asasi manusia bagi para pihak yang menjalani pemeriksaan.

Didapatkan berbagai praktik tekanan, ancaman, bujukan dan janji-janji. Bahkan juga didapatkan kegiatan yang membahayakan fisik dan nyawa. Pencabutan BAP di persidangan serta kesaksian palsu yang direkayasa. Ke depan tentunya hal-hal itu perlu ada langkah-langkah perbaikan.

8. Terkait dengan SDM Aparatur KPK, kembali KPK dengan argumen independennya, merumuskan dan menata SDM-nya yang berbeda dengan unsur aparatur pada lembaga negara pada umumnya yang patuh dan taat kepada UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan UU Aparatur Negara lainnya seperti UU Kepolisian, UU Kejaksaan.

KPK dengan argumen independen tidak tepat dan tidak memiliki landasan hukum yang cukup hanya dengan PP. Apalagi PP Nomor 103 Tahun 2012 tentang SDM KPK sebagaimana telah diubah dari PP No. 63 Tahun 2005, mendasarkannya kepada UU KPK yang mengatur tentang pemberantasan tindak pidana korupsi bukan tentang SDM Aparatur.

Walaupun ada putusan MK Nomor 109 Tahun 2015 atas hal tersebut, ke depan harus dikembalikan dan diperbaiki secara hukum yang benar, agar tidak menimbulkan dualisme pengaturan di bidang aparatur negara di internal KPK seperti adanya organisasi wadah pegawai, penyidik independen yang bisa berbeda kebijakan dengan atau bagi aparatur KPK lainnya.

9. Terkait dengan penggunaan anggaran, berdasarkan hasil audit BPK, banyak hal yang belum dapat dipertanggunjawabkan dan belum ditindaklanjuti atas temuan tersebut. Untuk itu dibutuhkan audit lanjutan BPK untuk tujuan tertentu.

Dari audit tersebut dapat diketahui secara pasti pencapaian sasarannya utamanya yang terkait dengan kinerja KPK. Ke depan BPK juga perlu mengaudit atas sejumlah barang-barang sitaan (BASAN) dan barang-barang rampasan (BARAN) dari kasus-kasus yang ditangani KPK atas temuan-temuan Pansus di 5 (lima) kantor RUPBASAN pada wilayah hukum Jakarta dan Tangerang yang tidak didapatkan data-data BASAN dan BARAN dalam bentuk uang, rumah, tanah dan bangunan di Rumah Penyimpanan Barang Sitaan dan Rampasan Negara (RUPBASAN).

10. Terhadap sejumlah kasus yang sedang ditangani oleh KPK, Pansus memberikan dukungan penuh untuk terus dijalankan sesuai dengan aturan hukum positif yang berlaku dan menjunjung tinggi HAM. Untuk itu Komisi III DPR RI wajib melakukan fungsi pengawasan sebagaimana dilakukan terhadap lnstansi Kepolisian dan Kejaksaan melalui rapat-rapat kerja, RDP dan Kunjungan Lapangan atau Kunjungan Spesifik.

11. Akan halnya mengenai sejumlah kasus atau permasalahan yang terkait dengan unsur pimpinan, mantan pimpinan, penyidik dan penuntut umum KPK, yang menjadi pemberitaan di publik seperti laporan saudara Niko Panji Tirtayasa di Bareskrim, kasus penyiraman penyidik Novel Baswedan, kematian Johannes Marliem, rekaman kesaksian saudari Miryam S Haryani, pertemuan Komisi Ill DPR dengan penyidik KPK: kiranya Komisi III DPR RI dapat segera mengundang pihak KPK dan Polri dalam melaksanakan fungsi pengawasan agar tidak terjadi polemik yang tidak berkesudahan.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya