Pagi di Pegunungan Kendeng, Pagi yang Melawan

Pertanian adalah semesta hidup bagi warga Kendeng di Kabupaten Rembang. Pertanian dan waktu untuk keluarga adalah nyawa mereka.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 02 Feb 2018, 06:00 WIB
Semburat jingga matahari terbit, menyinari dan membagi energi bagi alam pegunungan Kendeng. (foto: Liputan6.com/edhie prayitno ige)

Liputan6.com, Semarang Jika ingin menyaksikan pagi eksotis, datanglah ke Pegunungan Kendeng pagi hari. Geliat aktivitas para petani menyambut hari baru, seperti mata air Pegunungan Kendeng yang memberi hidup lingkungannya.

Dari Desa Mbombong, Kecamatan Sukolilo, Pati, misalnya, hamparan hijau dedaunan dari tetumbuhan dan tanaman begitu memanjakan dan menyehatkan indra penglihatan. Siti dan beberapa warga lain sudah bergerak melawan hawa dingin.

"Nggih ngaten niki tiyang tani. Menawi mboten obah, mboten nedhi. (Beginilah petani, kalau enggak bergerak ya enggak makan)," kata Siti.

Siti dan warga Sukolilo lainnya selain bertani, selama ini juga aktif menolak pendirian pabrik semen. Baginya, jika pegunungan Kendeng yang subur itu ditambang dan diratakan tanah, maka yang pertama merasakan dampaknya adalah perempuan. Dan pagi eksotis itu akan hilang.

Membajak sawah secara tradisional, upaya menyatukan kosmos dan mengendalikan nafsu serakah atas nama produktivitas. (foto: liputan6.com/dok.JM-PPK/edhie prayitno ige)

"Upaminipun masalah toya. Ibu-ibu niku mripat nglilir langsung pados toya, damel unjukan, ngliwet, sedaya kagem keluarga (Misalnya soal air. Ibu-ibu tuh begitu bangun langsung mencari air. Bikin minuman, menanak nasi, semua kan untuk keluarga)," kata Siti.

Pagi pegunungan Kendeng, pagi karst memang berbeda dengan pagi perkotaan yang sarat kepentingan. Berbeda dengan pagi yang dipenuhi ekspektasi rupiah.

 


Gersang?

Bahkan dengan cekungan tanah seadanya diantara batuan karst, tanaman ini masih bertumbuh dengan subur. (foto: Liputan6.com/edhie prayitno ige)

Baiklah, kita tinggalkan Desa Mbombong Sukolilo di Pati. Barangkali akan menemukan kawasan yang berbeda. Kita menuju Rembang. Pagi di pegunungan Kendeng wilayah Rembang menggeliat dengan pertanian tradisional. Mulai dari membajak sawah menggunakan sapi sebagai tenaga penarik bajak hingga menyiangi rumput. Eksotis.

Pertanian adalah semesta hidup bagi warga Kendeng di Kabupaten Rembang. Sebagian warga yang merupakan sedulur sikep menghindari transaksi keuangan. Pertanian dan waktu untuk keluarga adalah nyawa mereka.

Berbagai tumbuhan dan tanaman seakan mematahkan asumsi bahwa Kendeng adalah daerah gersang. Seperti yang pernah disebut Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.

Petani memancarkan semangat menuju pusat kosmos mereka, pegunungan Kendeng. (foto: Liputan6.com/dok.JM-PPK/edhie prayitno ige)
"Dari dulu setahu saya, di sana tidak ada air. Daerahnya itu gersang. Hari ini ada air bersih dengan debit 6.000 meter kubik, enggak tahu persisnya," kata Ganjar suatu hari pada sebuah media.

Penampakan di depan mata sangat kontras dengan yang disebut Ganjar. Mata dimanjakan dengan kesegaran yang adem. Tawaran alam untuk jiwa yang sehat.

Hamparan tanaman tembakau yang di masa lalu dianggap
Pagi pegunungan Kendeng adalah pagi yang melawan. Bukan masyarakatnya yang melawan, namun alam memberikan sinyal bahwa hijau dedaunan, air yang mengalir, dan antusiasme masyarakat seperti menjawab semua keraguan.

"Nggih mekaten niki. Alam niku lak nggih molah malih to. Rumiyin sae, sak menika dados rusak. Kala rumiyin gersang, sak menika subur. Kantun awake dewe anggenipun nggulawentah mawon (Ya begini ini. Alam itu kan berubah. Mungkin dulu bagus sekarang rusak, mungkin dulu gersang sekarang subur. Tinggal kita saja bagaimana memperlakukan alam)," kata Sukinah, warga Tegal Dowo, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang.

Pagi pegunungan Kendeng adalah pagi yang melawan. Pagi penuh semangat. Pagi yang mematahkan keraguan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya