Donald Trump Perintahkan Penjara Guantanamo Tetap Dibuka

Presiden Amerika Serikat Donald Trump telah memerintahkan agar Penjara Guantanamo di Kuba tetap dibuka.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 01 Feb 2018, 12:10 WIB
Camp Delta, Guantanamo (Wikimedia Commons)

Liputan6.com, Washington, DC - Presiden Amerika Serikat Donald Trump telah memerintahkan agar Penjara Guantanamo di Kuba tetap dibuka. Trump juga memerintahkan agar fasilitas detensi yang kerap digunakan untuk menahan teroris itu dapat kembali menampung tahanan baru.

Trump mengutarakan hal tersebut kala menyampaikan pidato State of the Union di hadapan Kongres AS di The Capitol, Washington DC, pada 30 Januari malam waktu setempat.

Dalam pidatonya, Trump mengatakan bahwa ia baru saja menandatangani perintah eksekutif kepada Menteri Pertahanan AS James Mattis untuk tetap membuka fasilitas Guantanamo. Pihaknya juga akan meninjau kembali kebijakan fasilitas detensi militer AS. Demikian seperti diktuip dari CNN, Kamis (1/2/2018).

Meski begitu, perintah eksekutif itu tak segera berlaku. Butuh waktu sekitar 90 hari bagi Mattis dan jajarannya di Kemhan AS untuk meninjau serta mendalami perintah eksekutif tersebut.

Sementara itu, pada kesempatan yang sama, Trump juga mengutarakan mengenai prospek untuk memenjarakan anggota ISIS di Gitmo -- julukan penjara Guantanamo.

"Saya meminta Kongres AS untuk memastikan kembali bahwa dalam pertempuran melawan ISIS dan Al Qaeda, AS harus memiliki semua sumber daya untuk menahan teroris di mana pun kita menangkap mereka," kata Trump.

"Dalam sejumlah kasus, kita akan menahan mereka di Guantanamo," ia menambahkan.

Sementara itu, sebaris kutipan dalam naskah perintah eksekutif yang ditandatangani Trump berbunyi: "AS akan menambah tahanan baru ke US Naval Station Guantanamo Bay (nama resmi Gitmo), hanya jika sesuai hukum dan diperlukan untuk melindungi Bangsa."

"Penahanan juga akan tetap dilakukan secara legal, aman, manusiawi, dan dilakukan sesuai dengan hukum Amerika Serikat dan internasional."

Rencana tersebut tentunya mendapat kecaman dari para politikus Partai Demokrat -- oposisi pemerintah dan menerima dukungan dari Partai Republik.

Sementara itu, organisasi penggiat HAM, Physicians for Human Rights, menyatakan bahwa langkah itu hanya akan kembali menegaskan Guantanamo sebagai simbol penyiksaan dan ketidakadilan yang dilakukan oleh AS bagi mata dunia.


Khawatir Residivisme Tahanan Terorisme

Camp Delta, Guantanamo (Wikimedia Commons)

Naskah perintah eksekutif tersebut juga mengkhawatirkan mengenai tingkat risiko residivisme yang tinggi dari para tahanan yang masih mendekam Guantanamo -- jika suatu saat mereka dibebaskan dari penjara itu.

"Karena teroris residivis merepresentasikan kasus yang paling sulit dan berbahaya," papar naskah itu.

Sementara itu, kala berpidato di hadapan Kongres AS, Selasa lalu, Trump juga menyatakan komentar yang selaras dengan kutipan naskah tersebut.

Dalam pernyataannya, Trump mencontohkan kasus pemimpin ISIS Abu Bakar al-Baghdadi, yang merupakan seorang residivis, setelah sebelumnya sempat ditahan dan kemudian dibebaskan oleh otoritas Amerika Serikat.

"Pada masa lalu, degan bodohnya kita telah membebaskan ratusan teroris berbahaya. Namun kemudian, bertemu mereka kembali di medan pertempuran -- termasuk pemimpin ISIS, al-Baghdadi," kata Trump.

"Ada alasan signifikan mengenai kekhawatiran mereka kembali bertempur, jika mereka memiliki kesempatan," kata dia.


Mengubah Kebijakan Obama

Tahanan penjara Guantanamo (Wikimedia Commons)

Keputusan Donald Trump untuk tetap membuka dan memasukkan tahanan baru ke dalam penjara terkontroversial dalam sejarah AS itu, adalah sebuah perubahan terhadap kebijakan pendahulunya, Barack Obama.

Pada periode pemerintahannya, Presiden Obama berjanji untuk menutup total Penjara Guantanamo, usai berbagai desakan dan kritik menahun dari publik AS dan internasional -- yang telah mengalir deras sejak penjara itu pertama kali dibuka pada masa Presiden George W Bush.

Meski begitu, hingga pada akhir masa jabatan Obama, Gitmo tetap dibuka dan beroperasi.

Kendati demikian, Presiden Obama dan pemerintahannya telah berhasil membebaskan atau memindahkan banyak tahanan, hingga hanya tersisa 41 pesakitan di dalamnya.

Mereka yang tersisa tetap ditahan atas alasan "terlalu berisiko dan sangat membahayakan AS" jika dibebaskan.

Sementara itu, selama satu dekade terakhir, hingga pada tahun pertama periode kepresidenan Trump, belum ada tahanan baru yang masuk ke dalam Gitmo -- yang merupakan efek dari jerih pemerintahan pendahulunya.

Trump pernah memuji eksistensi Gitmo sebagai tempat yang layak bagi para orang-orang jahat. Bahkan, sempat ada wacana yang menyebut bahwa pelaku teror truk Kota New York pada 2017 lalu, Sayfullo Saipov, akan dikirim ke Guantanamo.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya