Liputan6.com, Jakarta - Gembira. Kiranya siapa pun di dunia ini pasti merasakan itu bila keinginannya terkabul. Tak terkecuali para pemain yang berhasil pindah pada bursa transfer musim dingin yang baru berlalu seperti Marc Bartra dan Pierre-Emerick Aubameyang. Raut kegembiraan tergambar jelas di wajah mereka saat berpose dengan kostum klub baru.
Jika tidak gembira, bisa berabe juga. Masih ingat Aaron Lennon saat diperkenalkan sebagai penggawa Anyar Everton pada awal 2015? Saat itu, posenya dengan air muka datar cenderung tak senang justru menjadi hujatan banyak orang. Di media sosial, posenya sempat viral dan mendapat sorotan miring.
Baca Juga
Advertisement
Pada zaman media sosial sekarang ini, siapa pun harus berhati-hati. Prinsip "think before you speak, google before you tweet" kiranya benar-benar harus dipegang teguh. Soalnya, media sosial itu adalah ruang publik, bukan ruang pribadi. Siapa pun bisa melihat dan membaca status Anda.
Harus diingat pula, tak sedikit orang pada zaman ini yang iseng bin kurang kerjaan. Di antara mereka ada yang doyan mempermasalahkan semua masalah, mempersoalkan semua persoalan, dan bahkan memerkarakan semua perkara. Jika sudah dimasalahkan orang-orang seperti ini, air muka dijamin keruh sekeruh-keruhnya.
Hal yang paling lumrah dari para pemain baru adalah memuji klub barunya. Tak jarang, pujian itu terdengar berlebihan. Biasanya, mereka mengatakan bahwa ini adalah impian yang menjadi kenyataan dan klub barunya itu istimewa.
Saat diperkenalkan sebagai penggawa baru Real Betis beberapa hari lalu, Bartra menyebut klub barunya itu sebagai klub bersejarah. Sungguh basa-basi yang luar biasa. Sulit memercayai adanya pemain pindah ke sebuah klub hanya karena sejarahnya. Sejarah itu masa lalu yang mungkin tak sama dengan realitas saat ini. TSV 1860 Muenchen juga klub bersejarah. Begitu pula FC Parma. Namun, di mana mereka sekarang?
Hanya ada dua pertimbangan utama seorang pemain, terutama yang berlabel bintang seperti Bartra dan belum habis terangnya, hijrah. Dia menginginkan prestasi yang lebih baik dan atau mendambakan gaji besar. Soal ikatan emosional dan sejenisnya, kiranya itu hanyalah "lip service" belaka.
Langkah Mundur
Hal yang lebih bombastis diungkapkan Aubameyang, mantan rekan Bartra di Borussia Dortmund. Berhasil merapat ke Arsenal, dia menyebut klub barunya itu sebagai klub besar dan bersejarah. Kata-kata itu mengesankan Dorrmund bukanlah apa-apa.
Itu kiranya tidaklah keliru. Siapa pun tak bisa memungkiri Arsenal sebagai salah satu klub terbesar di Inggris. Besar karena prestasinya, sejarahnya, juga pendapatannya. Namun, pada saat ini, agak sukar menyebut kepindahan Aubameyang ke sana sebagai langkah maju.
Paling mudah, cobalah lihat posisi Arsenal dan Dortmund di kompetisi masing-masing. Lalu, lihat trofi apa saja yang diraih dalam beberapa tahun terakhir. Rasanya, The Gunners dan Die Schwarzgelben sama saja. Kedua klub sama-sama tak bisa juara liga pada beberapa tahun belakangan.
Soal peluang juara, memang benar bahwa Arsenal masih punya peluang di dua ajang, yakni Piala Liga dan Liga Europa. Adapun Dortmund hanya bisa berharap di Liga Europa. Mereka sudah tersingkir di DFB Pokal dan tercecer jauh dari Bayern Muenchen di Bundesliga 1. Namun, soal kans mengangkat trofi, siapa bisa menjamin peluang Aubameyang bersama The Gunners lebih baik dibanding dengan Die Schwarzgelben?
Akan jadi langkah besar bagi Aubameyang bila bergabung dengan klub yang saat ini tengah mengemuka. Sebutlah Barcelona, Bayern, Manchester City atau Paris Saint-Germain. Di klub-klub itu, gaji besar dan prestasi hebat jelas bukan harapan hampa.
Lagi pula, Aubameyang tak bisa juara di Liga Europa. Karena sudah membela Dortmund di fase grup Liga Champions dan mantan klubnya itu kini berada di Liga Europa, striker asal Gabon itu dipastikan tak bisa masuk ke skuat The Gunners. Jadi, andai anak-anak asuh Arsene Wenger juara di ajang ini, Aubameyang tak berhak menerima medali kampiun dan menuliskan juara Liga Europa 2017-18 di CV-nya.
Pemain yang jelas-jelas mengambil langkah maju tentu saja Philippe Coutinho. Bergabung dengan Barcelona, dia sudah hampir pasti juara Divisi Primera. Dia juga berpeluang meraih gelar di Copa del Rey. Adapun di Liga Champions, dia tak bisa turun lagi karena sudah memperkuat Liverpool pada fase grup.
Advertisement
Jujur nan Lugas
Sebenarnya, tak perlu menyebut klub besar, klub bersejarah atau sejenisnya. Akan tetapi elegan bila pemain yang pindah klub mengungkapkan motivasi utamanya secara lugas.
Ambil contoh Bartra. Siapa pun tahu, motivasi utamanya hengkang dari Dortmund ke Betis adalah demi mengamankan tempat di skuat timnas Spanyol untuk Piala Dunia. Belakangan, dia tak diturunkan oleh pelatih anyar Die Schwarzgelben, Peter Stoeger. Bertahan di Dortmund, kans ke Piala Dunia bisa sirna.
Sebaliknya, di Betis, kans bermain tiap pekan sangatlah besar. Asalkan mampu menunjukkan konsistensi permainan, tempat di skuat La Furia Roja akan terjaga. Lagi pula, bergabung dengan Betis membuat dia lebih mudah dipantau pelatih Julen Lopetegui.
Tanpa menyebut Betis sebagai klub bersejarah, Bartra bisa dengan lugas mengatakan bahwa ini adalah klub yang bisa menolongnya tampil di Piala Dunia. Dia juga bisa menyebutkan kepindahan ini sebagai batu loncatan berikut dalam kariernya. Siapa pun mafhum, sepertinya Bartra tak akan bertahan hingga pensiun di sana.
Menjadi memuakkan ketika seorang pemain menyebutkan klub barunya sebagai klub besar dan bersejarah, klub impian masa kecil, dan sebagainya, tapi kemudian hengkang hanya setelah satu atau dua musim di sana. Padahal, dia terikat kontrak jangka panjang, empat hingga lima musim.
Lebih memuakkan lagi jika si pemain memaksa pergi dengan langkah-langkah yang tak simpatik. Ya, seperti Ousmane Dembele yang sampai mogok berlatih hanya agar Dortmund merelakannya pergi ke Barcelona pada Agustus 2017. Padahal, dia baru menyelesakan musim pertama dari kontrak selama lima tahun.
Memang benar, pindah dari Signal Iduna Park ke Camp Nou adalah naik kelas bagi Dembele. Namun, cara yang ditempuhnya tidaklah elok. Meskipun prestasi dan uang adalah hal utama di sepak bola modern saat ini, ada hal-hal terkait kepatutan dan kepantasan yang harus dihormati. Bukankah lebih terhormat bila naik kelas dengan bermartabat?
*Penulis adalah jurnalis dan pengamat sepak bola.Tanggapi kolom ini @seppginz.