Liputan6.com, Jakarta Bank Indonesia (BI) masih mengkaji penerbitan uang digital atau Central Bank Digital Currency (CBDC). Tujuannya selain untuk mengikuti tren dunia, rencana tersebut juga untuk mencegah dampak dari penerbitan uang digital oleh swasta, baik perusahaan maupun individu.
Deputi Gubernur Senior BI, Mirza Adityaswara mengungkapkan, bank-bank sentral di beberapa negara sudah melakukan kajian tentang penerbitan uang digital atau CBDC. Bukan tanpa alasan BI latah melakukan kajian.
Baca Juga
Advertisement
"Di dunia ini, bank-bank sentral sedang melakukan kajian tentang central bank digital currency. Daripada masing-masing privat sector ada yang membuat digital currency, dan dampaknya tidak bisa dikontrol, bisa ada yang hilang, seperti Exchange Jepang atau di mana," ujar dia di Jakarta, seperti ditulis Jumat (2/2/2018).
Mirza menjelaskan, di era serba internet dan teknologi, bank-bank sentral di seluruh dunia harus memperhatikan perkembangan uang ke arah digital. Termasuk dampaknya terhadap makroekonomi maupun keamanan. Bank yang sudah melakukan kajian penerbitan uang digital, di antaranya Federal Reserve dan European Central Bank (ECB).
"Semua harus memperhatikan. Di dunia kan semua serba internet sekarang ini, jadi semua mengkaji (penerbitan uang digital), seperti ECB dan The Fed," katanya.
Kajian BI untuk penerbitan mata uang digital masih sangat jauh prosesnya. Namun ini salah satu langkah BI untuk melindungi nasabah dan investor dari produk investasi uang digital yang diterbitkan swasta.
"Kajian masih jauh. Yang jelas investasi di privat dalam digital currency berbahaya," tegas Mirza.
Saksikan Video Pilihan Lain di Bawah Ini:
Coincheck, Bursa Uang Virtual di Jepang Kehilangan Dana Rp 7 T
Salah satu bursa mata uang virtual terbesar di Jepang, Coinchek kehilangan uang virtual senilai sekitar 53 miliar yen atau US$ 530 juta. Angka itu setara Rp 7,05 triliun (asumsi kurs Rp 13.311 per dolar Amerika Serikat).
Bursa uang virtual the Coincheck mengatakan, kalau pihaknya menghentikan penjualan dan penarikan mata uang virtual yang disebut NEM. The Coinchek juga membatasi transasi mata uang digital lainnya.
Pada konferensi pers, Jumat malam waktu setempat, Presiden Direktur Coincheck Koichiro Wada membungkuk dan meminta maaf. Mengutip laman Washington Post, Sabtu (27/1/2018), Wada menuturkan, pihaknya mungkin mencari bantuan keuangan.
Coincheck yang disebut sebagai bursa bitcoin dan mata uang virtual lainnya yang terkemuka di Asia mendeteksi kalau ada akses yang tidak sah ke sistemnya sekitar pukul 3 dini hari.
Mengutip laman Bloomberg, Co-Founder Coinchek Yusuke Otsuka mengatakan, kalau pihaknya tidak tahu bagaimana token senilai 500 juta bisa hilang. Pihaknya menjamin keamanan semua aset klien.
"Kami tahu dana tersebut dikirim. Kami melacak mereka, dan jika kami terus melacak, mungkin dapat memulihkannya. Namun, hal itu sedang kami selidiki," ujar Otsuka.
Otoritas keuangan Jepang pun sedang menyelidiki fakta seputar laporan Coincheck. Hilangnya dana di bursa mata uang virtual tersebut diperkirakan terbesar kerugiannya sejak muncul bitcoin pada 2009.
NEM merupakan mata uang virtual terbesar ke-10 berdasarkan nilai pasar. Nilainya turun 11 persen dalam 24 jam menjadi 87 sen. NEM sendiri dibangun dengan sistem blockchain. Akan tetapi, metode digunakan lebih mudah transaksinya ketimbang bitcoin yang lebih rumit. Sementara itu, nilai mata uang virtual lainnya yaitu bitcoin melemah 3,4 persen dan ripple tergelincir 9,9 persen.
Advertisement