Liputan6.com, Yangon - Rumah pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi di Yangon dikabarkan menjadi target serangan bom molotov pada Kamis, 1 Februari 2018 waktu setempat, kata laporan pemerintah setempat.
"Diserang bom molotov," kata juru bicara Zaw Htay kepada Agence France Presse, seperti dikutip dari Channel News Asia (2/2/2018).
Saat serangan itu berlangsung, Suu Kyi sedang berada di Naypyidaw (kota pusat pemerintahan Myanmar), kata Htay.
Baca Juga
Advertisement
Kendati demikian, sang juru bicara tak menjelaskan lebih lanjut aktor di balik serangan tersebut. Begitu juga motif yang melandasi aksi si pelaku.
Bom molotov itu hanya menimbulkan kerusakan minor pada rumah tersebut.
Hingga kini, otoritas setempat masih mendalami kasus tersebut.
Kediaman itu pernah digunakan oleh junta militer Myanmar untuk memaksa Aung San Suu Kyi menjadi tahanan rumah selama bertahun-tahun, sebelum akhirnya dibebaskan pada November 2010.
Serangan bom molotov tersebut terjadi di tengah tensi tinggi seputar krisis pengungsi etnis Rohingya di Negara Bagian Rakhine. Aung San Suu Kyi kerap dikritik oleh komunitas internasional yang menganggapnya tak berbuat banyak untuk menangani krisis yang santer akan pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan itu.
Myanmar Belum Siap Terima Kepulangan Pengungsi Rohingya?
Myanmar telah mendirikan sejumlah konstruksi bangunan di wilayahnya yang berbatasan dengan Bangladesh, sebuah petunjuk yang mengisyaratkan negara itu siap menerima kepulangan para Muslim Rohingya yang selama ini mengungsi ke Bangladesh.
Meski demikian, hingga Rabu, 24 Januari 2018, belum ada petunjuk kepulangan -- yang direncanakan bertahap -- hampir 700 ribu Rohingya. Demikian seperti dikutip dari VOA News, 25 Januari 2018.
Myanmar bahkan mengundang wartawan dari Associated Press dan sejumlah media lain ke perbatasan itu untuk menunjukkan persiapan mereka.
Namun di sisi lain, Bangladesh menyatakan, masih perlu lebih banyak waktu untuk menyiapkan pemulangan para pengungsi tersebut.
Sementara itu, para pengungsi Rohingya umumnya ragu, dan bahkan khawatir, mengenai rencana kepulangan mereka ke kampung halaman setelah menyaksikan sendiri rumah mereka dibakar; istri, saudara perempuan dan ibu mereka diperkosa, serta kerabat dan tetangga mereka dibantai.
Sejumlah pengungsi mengatakan, mereka tidak melihat adanya persiapan besar dari pihak Myanmar untuk menyambut kepulangan mereka ke negara bagian Rakhine dengan aman dan selamat. Organisasi Nasional Arakan Rohingya menyatakan, para pengungsi tidak akan pulang kecuali pemerintah Myanmar telah memenuhi janji mereka.
Myanmar dan Bangladesh telah menyepakati proses repratiasi Rohingya yang akan berlangsung selama dua tahun dan dimulai Selasa 23 Januari 2018. Namun para pejabat di Bangladesh mengatakan sejumlah masalah masih belum terpecahkan.
Advertisement