Baca Berita, Bikin Sebagian Orang Amerika Stres

Membaca atau menonton berita menimbulkan stres, cemas, lelah, dan kurang tidur.

oleh Benedikta Desideria diperbarui 02 Feb 2018, 18:00 WIB
Jajak pendapat di Amerika menunjukkan membaca atau menonton berita menimbulkan stres, cemas, lelah, dan kurang tidur.

Liputan6.com, Jakarta Stres, lelah, dan cemas juga bisa datang usai menonton atau membaca berita. Hal ini yang membuat kebiasaan orang Amerika menonton atau membaca berita menurun.

Jajak pendapat yang dilakukan oleh American Psychological Association menunjukkan lebih dari setengah orang Amerika mengatakan berita membuat mereka stres dan juga melaporkan perasaan cemas, lelah, dan kurang tidur.

Walau berusaha menghindar mengonsumsi berita, tetap saja paparan tersebut ada. Jajak pendapat ini juga menunjukkan sekitar 20 persen orang Amerika terus-terusan memantau media sosial. Mau tak mau, hal ini membuat mereka juga kembali disodorkan aneka berita.

Menurut peneliti profesor psikologi dari Sussex University, Inggris, Graham Davey, penyajian berita yang ada saat ini menampilkan banyak hal visual dan mengejutkan. Ketika masyarakat menerima berita ini secara intensif, bisa menyebabkan stres, sulit tidur, gangguan suasana hati, bahkan perilaku agresif.

"Cara penyajian berita dan cara masyarakat mengakses berita sudah berubah secara signifikan dalam 15-20 tahun terakhir," kata Davey.

"Perubahan ini sering kali merugikan kesehatan mental," tambah Davey, mengutip Time, Jumat (2/2/2018).

Salah satu studi yang dilakukan oleh Davey juga menunjukkan pemberitaan TV yang negatif terbukti secara signifikan menimbulkan perubahan suasana hati serta cenderung membuat sedih dan gelisah.

"Studi kami menunjukkan perubahan suasana hati ini memperparah rasa khawatir pada penonton, bahkan kekhawatiran itu tidak relevan dengan berita yang disiarkan," katanya.

Walau aneka gangguan yang terjadi terkait mental, ternyata juga bisa mengganggu fisik. Ketika stres hormon kortisol naik, hal ini memicu peradangan terkait dengan meningkatnya risiko rheumatoid arthritis, penyakit kardiovaskular dan masalah kesehatan serius lainnya.

 

 

Saksikan video menarik berikut:

 


Batasi Konsumsi Berita

Seorang pria membaca koran saat ia duduk di sebuah kafe di luar kedutaan AS di Tel Aviv (6/12). Presiden AS, Donald Trump resmi mengumumkan Yerusalem sebagai ibu kota Israel. (AFP Photo/Jack Guez)

Menurut pakar media dan komunikasi dari Aalborg University Copenhagen, Denmark, Chris Peters, sulit sekali memprediksi bagaimana cara orang menanggapi berita. Dengan begitu, dia menyarankan kepada masyarakat mengetahui dirinya apakah mudah terpengaruh pada suatu berita atau tidak.

"Cobalah untuk menyadari apakah menyaksikan berita negatif bisa mengubah mood atau pikiran jadi negatif. Jika iya, cobalah untuk mengambil napas lebih dalam serta melakukan aktivitas lain seperti berolahraga atau menonton sesuatu yang bisa membuat tertawa," kata Peters.

Batasi juga kebiasaan mengurangi mengonsumsi berita, terlebih di masa sekarang yang orang bisa mendapatkan berita dari media sosial atau televisi sepanjang 24 jam. "Itu mungkin terlalu banyak," katanya.

Penulis Habits of a Happy Brain yang juga profesor di University of California, Loretta Breuning, sepakat dengan adanya batasan konsumsi berita.

"Dan pastikan untuk tidak menonton atau membaca berita sebelum tidur," kata Loretta.

Jadi, tetap memiliki informasi akan kejadian di sekitar itu hal baik. Namun, ketika hal tersebut bisa merusak kesehatan tentu bukan kabar baik.

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya