Liputan6.com, Cox's Bazar - Lima kuburan massal yang berisi total ratusan jasad etnis Muslim Rohingya dilaporkan berada di sejumlah titik di Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Demikian menurut hasil penelusuran jurnalistik-investigatif kantor berita raksasa asal Amerika Serikat, Associated Press (AP).
Laporan itu merupakan hasil penelusuran AP yang mewawancarai puluhan pengungsi Rohingya di Bangladesh. Sejumlah video yang kredibel juga turut menguatkan testimoni tersebut.
Baca Juga
Advertisement
Seperti dilansir ABC Australia (2/2/2018) yang mengutip AP, 5 kuburan massal itu berisi sedikitnya sekitar 75 hingga 400 jasad etnis Rohingya.
Hampir dari setiap warga desa yang diwawancarai oleh AP mengatakan bahwa 3 dari 5 kuburan massal itu berada di jalan raya gerbang masuk utara pedesaan Gu Dar Pyin, Rakhine.
Sedangkan 2 sisanya berada di dekat pemakaman di lereng bukit Gu Dar Pyin.
Sementara itu, sejumlah pengungsi juga mengatakan, ada sejumlah kuburan massal etnis Rohingya berskala kecil yang tersebar di beberapa titik di Gu Dar Pyin.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Pelaku Diduga Tentara Bersenjata Sekop dan Cairan Asam
Media AP, yang mengutip testimoni para pengungsi Rohingya, menyebut bahwa pembantaian yang berujung pada terbentuknya kuburan massal itu telah direncanakan oleh tentara Myanmar sejak 27 Agustus 2017 -- hari yang sama ketika konflik bersenjata antara militer dan militan Arakan-Rohingya pecah.
Tak tanggung-tanggung, sejumlah tentara yang menyerbu desa sipil Rohingya di Gu Dar Pyin dilengkapi dengan sekop dan cairan asam.
Sekop, tentu saja, digunakan untuk mengubur mayat. Sementara cairan asam itu dimanfaatkan untuk merusak jasad agar tak mudah dikenali dan diidentifikasi.
Cairan asam itu biasanya diusap pada wajah jenazah.
"Saat itu, tentara berkekuatan 200 orang dan dibantu etnis sipil mayoritas menyerbu desa. Beberapa di antara kami berhasil melarikan diri atau bersembunyi. Yang lainnya tewas ditembak di tempat," kata Mohammad Sha yang berhasil menyelamatkan diri dari peristiwa itu, dan kini berada di kamp pengungsi di Bangladesh.
"Mereka juga membakar permukiman dan menjarah barang-barang kami," tambah Sha.
Sementara itu, pengungsi lain bernama Mohammad Lalmia menyatakan bahwa kuburan massal mulai terbentuk beberapa hari usai serangan tersebut.
Kuburan massal itu, jelas para pengungsi, ditujukan untuk menutupi jejak aksi para tentara.
"Mayat berserakan di mana-mana," kata Lalmia.
"Sebelas hari usai kejadian itu, saya dan beberapa penduduk lain yang sempat menengok kembali keadaan desa melihat ada sejumlah gundukan tanah dengan tangan manusia yang mencuat dari bawahnya," tambah Lalmia.
Selain itu, penduduk desa lainnya, yang bernama Mohammad Karim merekam tiga video yang menunjukkan eksistensi kuburan massal tersebut.
Video itu turut diverifikasi oleh puluhan pengungsi lain dari desa yang sama. Rekaman itu memiliki keterangan tanggal 9 September 2017 antara pukul pukul 10.12 dan 10.14.
Advertisement
LSM: Pemulangan Pengungsi Rohingya dari Bangladesh ke Rakhine Harus Ditunda
Laporan AP muncul ketika proses repatriasi pengungsi Rohingya dari Bangladesh ke Rakhine, Myanmar tengah akan dimulai.
Namun, bercermin pada laporan itu, kekhawatiran akan adanya persekusi lanjutan dari penduduk etnis mayoritas di Rakhine dan tentara Myanmar, santer terasa.
Maka, bercermin pada laporan tersebut, bijak rasanya jika otoritas terkait yang berwenang menunda proses repatriasi pengungsi Rohingya dari Bangladesh ke Rakhine.
Lembaga aktivisme dan advokasi HAM Fortify Rights, beberapa pekan sebelumnya, turut mengutarakan opini serupa.
Fortify Rights menyatakan -- sekaligus sangat menyarankan -- agar penundaan itu dapat diperpanjang hingga situasi di Rakhine benar-benar aman bagi Rohingya dan hak etnis minoritas tersebut dapat benar-benar dijamin oleh Myanmar. Demikian seperti dikutip dari ABC Australia.
Lembaga aktivisme HAM itu juga mendesak agar Myanmar segera memberikan perbaikan terhadap kampung-kampung Rohingya yang rusak akibat rangkaian kekerasan dan konflik yang terjadi di Rakhine pada pertengahan tahun 2017 silam, sebelum proses repatriasi terjadi.
"... Potensi pelanggaran HAM dan kekerasan terhadap Rohingya masih besar ... Desa-desa mereka sebagian besar telah dihancurkan, beberapa ratus desa bahkan dikabarkan telah dibakar sepanjang tahun 2017 ini," kata Matthew Smith, aktivis Fortify Rights.
"Jadi jika mereka dipulangkan sekarang, sejatinya mereka kembali ke tumpukan abu bekas desa mereka yang telah dibakar dan dibuldozer," paparnya.
Badan pengungsi PBB (UNHCR) menekankan bahwa Rohingya seharusnya kembali ke Myanmar secara sukarela, dan hanya jika hak dan keamanan dasar mereka dapat dilindungi.
Ketika rencana repatriasi diumumkan pada bulan November 2017, sebuah survei menemukan, 89 persen orang Rohingya tidak mau kembali.
Seorang perempuan Rohingya di kamp pengungsian Bangladesh berkata, "Anda bisa melempar kami ke laut, tapi tolong jangan mengirim kami kembali ... kami tidak akan kembali ke Myanmar."