Liputan6.com, Jakarta - Pertumbuhan ekonomi di 2017 diprediksi sebesar 5,05 persen. Pertumbuhan ini terbilang stagnan akibat rendahnya konsumsi rumah tangga yang tumbuh di kisaran 4,9 persen.
Pengamata Ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, pencabutan subsidi listrik dan inflasi pangan diakhir tahun membuat daya beli kelompok masyarakat 40 persen terbawah terpukul.
Baca Juga
Advertisement
Sementara kelas atas cenderung menahan belanja dan mengalihkan pendapatannya ke tabungan di bank.
"Kondisi ini berakibat pada tutupnya beberapa gerai ritel," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Senin (5/2/2018).
Meskipun total ekspor berdasarkan data BPS di 2017 tumbuh 16,2 persen, lanjut dia, namun di sisi impor juga mengalami kenaikan 15,66 persen. Dengan demikian sumbangan ekspor dalam PDB hanya tumbuh 0,5 persen.
"Ekspor masih bergantung pada komoditas dan olahan primer yang rentan terhadap fluktuasi harga komoditas," kata dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Belanja Pemerintah
Sementara itu, daya dorongan dari sisi belanja pemerintah masih sangat minim. Bahkan di kuartal II 2017 belanja pemerintah tumbuh negatif yaitu -1,93 persen (yoy).
Hal ini karena banyak pos belanja yang terlambat cair khususnya belanja sosial sehingga anggaran pemerintah tidak mampu mendorong perekonomian dengan optimal.
"Tapi faktor penolong adalah investasi yang tumbuh 7 persen di kuartal III 2017 menunjukkan optimisme investor khususnya domestik terhadap pemulihan ekonomi 2018," lanjut dia.
Sedangkan dari sisi lapangan usaha, laju industri manufaktur masih lambat di mana pertumbuhan industri pengolahan dibawah pertumbuhan ekonomi. Kemudian porsinya juga merosot menjadi 19 persen terhadap PDB di kuartal III 2017.
"Ini merupakan sinyal deindustrialisasi berjalan. Akibat lambatnya gerak manufaktur membuat penyerapan tenaga kerja di 2017 turun 216 ribu orang dibanding 2016," tandas dia.
Advertisement