Liputan6.com, Yogyakarta Pemerintah terus membuat berbagai terobosan program pemerintah yang bertujuan untuk memperbaiki layanan, tata kelola, dan perlindungan bagi Pekerja Migran Indonesia (PMI). Salah satunya, Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) yang ada di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Di masa mendatang, LTSA ini diharapkan memiliki dispute settlement untuk membantu PMI yang dilanda masalah.
"Keberadaan LTSA kita maksimalkan untuk membantu para TKI. Jadi, misalkan ada masalah itu bisa buat ngadu dan menyelesaikan di situ," ujar Menteri Ketenagakerjaan RI (Menaker), M. Hanif Dhakiri, saat memberikan sambutan pada acara Sarasehan Nasional Jambore Keluarga Migran Indonesia (KAMI) Tahun 2018 di Desa Garongan, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman, Minggu (4/2/2018).
Advertisement
Menurutnya, sebagai moda yang mengintegrasikan berbagai layanan migrasi, LTSA selayaknya dilengkapi dengan terobosan dispute settlement agar proses penyelesaian permasalahan migrasi dapat ditangani dengan lebih cepat dan efektif.
"Jadi, kalau ada masalah di daerah teman-teman tidak perlu jauh-jauh ke Jakarta," ucap Hanif.
Ia melanjutkan, Pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Presiden Joko Widodo sangat berkomitmen untuk mewujudkan proses migrasi yang mudah, murah, cepat, aman, dan berkualitas.
Selain melalui LTSA, komitmen tersebut juga diwujudkan dengan inisiasi program Desa Migran Produktif (Desmigratif). Hanif menjelaskan bahwa Desmigratif berisi empat kegiatan utama.
Pertama, layanan migrasi di tingkat desa. Menurutnya, agar migrasi aman dapat terwujud, maka pemerintah desa harus terlibat secara aktif.
"Sehingga di sini pemerintah desa terlibat dalam proses migrasi," kata Hanif.
Kedua, Desmigratif dilengkapi dengan program wirausaha produktif. Ketiga, community parenting yang bertujuan mendidik anak-anak PMI agar memiliki waktu dan ruang yang cukup, baik untuk belajar maupun bermain. Terakhir, program ke-empat Desmigratif adalah koperasi produktif.
"Dimaksudkan sebagai instrumen untuk mengelola remitansi secara baik bagi PMI di masa depan," ujar Hanif.
Selain itu, saat ini Indonesia telah memiliki Undang-undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI). Menurutnya, UU PMII telah mencakup berbagai berbagai perbaikan tata laksana migrasi dan perlindungan PMI.
Hanya saja, UU PPMI memberikan waktu dua tahun kepada pemerintah untuk menyusun aturan turunannya, yang terdiri dari 12 PP, 12 Permen, 1 Perpres, dan 3 Perka Badan.
Oleh karena itu, Jambore KAMI tersebut diharapkan dapat menelurkan gagasan yang bisa menjadi rekomendasi pemerintah dalam mewujudkan proses migrasi yang mudah, murah, cepat, aman, dan berkualitas.
"Tentu penyelesaian persoalan tata kelola dan perlindungan pekerja migran tidak bisa diselesaikan oleh pemerintah semata. Kita juga membutuhkan dukungan dari kalangan civil society, termasuk dari TKI purna," ucap Hanif.
(*)