Liputan6.com, Jakarta PT PLN (Persero) berharap pemerintah menerapkan kebijakan kewajiban untuk memasok kebutuhan pasar dalam negeri atau domestic market obligation (DMO). Hal ini diperlukan untuk menjamin harga batu bara di dalam negeri yang akan berdampak pada kestabilan tarif listrik.
Direktur Pengadaan Strategis PLN Supangkat Iwan Santoso mengatakan, lonjakan harga batu bara di pasar internasional berdampak langsung pada biaya produksi listrik yang harus dikeluarkan PLN. Hal ini turut berpengaruh terhadap tarif listrik yang ditetapkan pemerintah.
Baca Juga
Advertisement
"Pastilah (berpengaruh), karena biaya kami kan berapa persen dari batu bara ya. Signifikan. Tapi kami harus sepakat antar pemasok, sama PLN, sama negara harus sepakat," ujar dia di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (5/2/2018).
Iwan mencontohkan, dalam Rencana Kerja Anggaran Perusahaan (RKAP), PLN menetapkan asumsi harga batu bara di kisaran US$ 63 per ton. Jika harga batu bara tersebut naik menjadi US$ 80 per ton, maka PLN harus menanggung selisih biaya sekitar Rp 14 triliun.
"Kalau tahun kemarin di RKAP kan US$ 63-an. Ketika jadi US$ 80 sekian itulah yang dampak menjadi Rp 14 triliun. Tapi kami tidak bisa minta ganti nih. (US$ 14 triliun?) Itu selisih dari RKAP ke harga riil," kata dia.
Sebab itu, PLN ingin agar pemerintah menerapkan kebijakan DMO untuk menjamin pasokan dan harga batu bara di dalam negeri. Namun Iwan menyatakan pemerintah belum membuat keputusan terkait hal ini.
"Karena belum ada keputusan saya belum bisa bilang, karena pemerintah komitmen akan ambil keputusan tetapi juga tidak seenaknya sendiri makanya kami diminta bicara. Kalau pemerintah memutuskan, kan pemasok batu bara banyak. Yang ini mau yang itu enggak, nah itu kami diminta bicara dulu," tandas dia.
Tonton Video Pilihan di Bawah Ini:
Atur Harga Batu Bara Sebelum Masuk Perhitungan Tarif Listrik
Pemerintah harus membuat kebijakan harga batu bara khusus untuk sektor kelistrikan, sebelum komponen harga batu bara masuk ke formula perhitungan tarif listrik. Hal ini untuk meredam kenaikan tarif listrik yang dibebankan kepada masyarakat.
Pengamat Ketenagalistrikan Universitas Indonesia, Iwa Garniwa mengatakan, kepentingan masyarakat harus didahulukan dengan menetapkan harga batu bara khusus kelistrikan. Namun hal tersebut perlu dibicarakan bersama antara pemangku kepentingan masyarakat, pemerintah, dan asosiasi pengusaha batu bara.
Baca Juga
"Untuk mengimplementasikannya dalam bentuk penetapan harga atas dan harga bawah dalam alokasi batu bara dalam negeri," kata Iwa di Jakarta, Jumat (2/2/2018).
Penetapan harga batu bara khusus perlu dilakukan, karena mengacu pada tingginya harga batu bara saat ini yang mencapai US$ 100 per metrik ton. Kondisi ini dipicu oleh harga batu bara mengikuti harga pasar dunia yang naik signifikan.
"Kondisi ini tentu memberatkan PLN di mana lebih dari 50 persen listrik yang dihasilkan berasal dari PLTU," Iwa berujar.
Terkait dengan penyerapan batu bara, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sudah menetapkan penjualan batu bara untuk kepentingan dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO) 2018 menjadi 25 persen dari rencana produksi dalam negeri atau mendekati 121 juta ton.
Ini didasari pada mulai beroperasinya sejumlah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), serta terjadinya peningkatan kebutuhan sejumlah industri yang menggunakan batu bara di dalam negeri.
Namun yang paling penting dalam penyerapan dalam negeri adalah harga batu bara untuk konsumsi domestik, khususnya untuk perusahaan, seperti PLN dalam kaitan sebagai penyalur subsidi.
Adapun kategori batu bara yang digunakan untuk konsumsi di dalam negeri adalah yang kalori-nya lebih dari 4.000. Sementara yang diekspor, minimal adalah batu bara dengan kalori di atas 5.000, sehingga tidak masuk akal kalau harga di dalam negeri mengikuti harga yang diekspor (market price).
Advertisement