Liputan6.com, New York - Wall Street anjlok pada penutupan perdagangan Senin (Selasa pagi waktu Jakarta), dengan indeks Dow turun hampir 1.600 poin selama sesi tersebut. Ini merupakan penurunan intraday terbesar dalam sejarah, seiring langkah investor yang bergulat dengan kenaikan imbal hasil obligasi dan inflasi yang berpotensi menguat.
Melansir laman Reuters, patokan indeks S & P 500 dan Dow mengalami penurunan persentase terbesar sejak Agustus 2011.
Indeks Dow Jones Industrial Average turun 1.175,21 poin atau 4,6 persen menjadi 24.345,75. Sementara indeks S&P 500 kehilangan 113,19 poin atau 4,10 persen menjadi 2.648,94 dan Nasdaq Composite turun 273,42 poin atau 3,78 persen menjadi 6.967,53.
Baca Juga
Advertisement
Indeks S & P 500 berakhir turun 7,8 persen dari rekor tertinggi pada 26 Januari, sementara Dow turun 8,5 persen dari waktu itu.
Sektor keuangan, kesehatan, dan sektor industri mencatat penurunan terbesar. Penurunan menyebar luas karena semua kelompok utama pada indeks utama S&P utama turun setidaknya 1,7 persen. Semua 30 komponen industri Dow blue-chip berakhir negatif.
Dengan penurunan yang terjadi kali ini, indeks S & P 500 menghapus kenaikannya selama 2018 dan justru sekarang turun 0,9 persen pada 2018.
Banyak investor mendapat keuntungan karena mengalami pullback selama berbulan-bulan, seiring pasar saham yang mencetak rekor. Kondisi ini didorong data ekonomi dan prospek pendapatan perusahaan yang solid, yang belakangan diperkuat oleh pemotongan pajak perusahaan AS.
Laporan pekerjaan pada Januari lalu, memicu kekhawatiran akan inflasi dan lonjakan imbal hasil obligasi, serta kekhawatiran bahwa Federal Reserve akan menaikkan suku bunga pada tingkat yang lebih cepat dari perkiraan.
"Pasar telah mengalami kemunduran yang luar biasa," kata Michael O'Rourke, Kepala Strategi Pasar JonesTrading In Greenwich, Connecticut.
"Kami memiliki lingkungan di mana suku bunga naik. Kami memiliki ekonomi yang lebih kuat sehingga Fed harus terus memperketat ... Anda melihat perubahan nyata terjadi dan investasi yang berbeda disesuaikan dengan hal itu, "kata O'Rourke.
Pada satu titik, Dow turun 6,3 persen atau 1.597 poin, penurunan poin satu hari terbesar yang pernah ada, di mana menembus level 25.000 dan 24.000 selama perdagangan.
Pasar saham telah naik menuju rekor sejak pemilihan Presiden Donald Trump dan terus menguat 23,8 persen sejak kemenangannya. Trump sering memuji bangkitnya pasar saham selama masa kepresidenannya.
Kemudian seiring penurunan pasar saham pada hari Senin, Gedung Putih mengatakan fundamental ekonomi AS masih tetap kuat.
Sekitar 11,5 miliar saham berpindah tangan di Wall Street, jauh di atas rata-rata 7,6 miliar per hari selama 20 sesi terakhir.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Wall Street Terkapar, Dow Jones Cetak Rekor Terburuk 2 Tahun
Wall Street jatuh terkapar dengan indeks acuan Dow Jones Industrial Average (DJIA) jatuh 666 poin dan mencetak penurunan terbesar dalam 20 bulan pada penutupan perdagangan Jumat (Sabtu pagi waktu Jakarta).
Tiga indeks utama Wall Street mencetak kerugian mingguan terbesar dalam dua tahun setelah pada pekan sebelumnya mencetak rekor tertinggi.
Mengutip Reuters, Sabtu (3/2/2018), Dow Jones Industrial Average turun 665,75 poin atau 2,54 persen menjadi 25.520,96. Untuk S&P 500 kehilangan 59,85 poin atau 2,12 persen menjadi 2.762,13. Sedangkan Nasdaq Composite turun 144,92 poin atau 1,96 persen menjadi 7.240,95.
Salah satu pemicu kejatuhan Wall Street adalah laporan dari Depatemen Tenaga Kerja Amerika Serikat (AS). Dalam laporan tersebut dituliskan bahwa angka pekerjaan pada Januari tumbuh lebih cepat dari perkiraan para analis dan ekonom dengan kenaikan upah terbesar dalam lebih dari 8 tahun.
Kenaikan upah yang cukup besar tersebut memicu ekspektasi inflasi dan bisa mendorong Bank Sentral AS atau the Federal Reserve (the Fed) untuk mengambil pendekatan lebih agresif dengan menaikkan suku bunga acuan di tahun ini lebih besar dari perkiraan.
Hal tersebut menyebabkan imbal hasil dari obligasi pemerintah AS dengan jangka waktu 10 tahun melonjak menjadi 2,8450 persen, yang merupakan angka tertinggi sejak Januari 2014. Kenaikan imbal hasil ini membuat surat utang pemerintah AS lebih menarik jika dibandingkan dengan saham.
"Sebenarnya ada banyak sentimen yang harus dipertimbangkan di Wall Street. Laporan kinerja emiten yang positif harus bersaing dengan kenaikan angka inflasi," jelas chief executive officer Horizon Investment Services, Hammond, Indiana, Chuck Carlson.
Advertisement