Liputan6.com, Jakarta Hampir satu abad yang lalu, tepatnya 6 Februari 1925, Pramoedya Ananta Toer, seorang sastrawan besar Indonesia lahir. Dijuluki sebagai bapak realisme sosialis, Pram yang semasa hidupnya aktif di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) telah menelurkan lebih dari 50 karya sastra, dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, serta menjadi bahan ajar fakultas sastra di luar negeri.
Saat zaman represi Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto, karya-karya Pram dilarang tampil. Pram yang dikenal sebagai salah satu aktivis Lekra yang “galak” setidaknya mempengaruhi pandangan orang tentang karya-karyanya yang dianggap berbau komunis.
Advertisement
Jadi Bacaan Wajib Fakultas Sastra Luar Negeri
Setelah rezim Orde Baru bergulir, karya-karya Pram justru muncul bukan hanya menjadi bacaan sastra, tapi juga menjadi potret lengkap kehidupan sosial, politik, dan sejarah masyarakat Indonesia. Hal tersebut setidaknya pernah diungkapkan kritikus sastra asal Australia, Max Lane. Dirinya juga menjadi orang pertama yang berusaha memperkenalkan karya-karya Pram kepada dunia pada zaman Soeharto. Max Lane juga menjadi orang yang menerjemahkan tetralogi Pulau Buru ke dalam bahasa Inggris yang terbit di tiga negara, yaitu Inggris, Australia, dan Amerika.
Advertisement
Melihat Indonesia dari Kacamata Pram
Sementara itu, kritikus sastra Afrizal Malna kepada Liputan6.com, Selasa (6/2/2018) mengatakan, Pram merupakan sosok yang romantik khas generasinya, yang banyak mengalami kejutan sejarah dan dunia baru, yang tiba-tiba ada di depannya karena Perang Dunia II.
“Menurutku kayanya Indonesia nggak akan melahirkan lagi sastrawan seperti Pram, karena eranya sudah lain, pandangan dunia sastra juga sedang berubah dengan munculnya media baru. Teknologi big data, teritori etis, maupun identitas yang juga berubah karena munculnya ruang digital,” ungkap Afrizal.
Bagi Afrizal, karya-karya Pram merupakan salah satu perspektif, sebuah cara bagi bangsa Indonesia dalam melihat sejarahnya, di tengah masyarakat masa kini yang juga punya ruang sejarah yang lain.
“Harapanku ya generasi masa kini bisa melihat karya-karya Pram sebagai salah satu batas dari asal-usul kita sebagai bangsa,” kata Afrizal.