Sleman - Sebanyak 71 orang meninggal akibat gizi buruk di Kabupaten Asmat, Papua, membuat sivitas akademika Universitas Gadjah Mada atau UGM terketuk untuk menangani Kejadian Luar Biasa (KLB) tersebut.
Untuk itu, UGM mengirimkan dosen terbaiknya menuju Asmat untuk membantu penanganan masalah gizi buruk yang menderita anak-anak Asmat. Namun, kesulitan menembus pulau tersebut dirasakan oleh akademisi yang tergabung dalam Tim Disaster Response Unit (DERU) ini.
Kamis, 25 Januari 2018, menjadi hari yang akan dikenang oleh tujuh dosen UGM. Mereka harus memutar otak untuk melakukan aksi kemanusiaan di Asmat yang tengah dilanda gizi buruk.
Hari itu, ketujuhnya berada di Kabupaten Mimika, Papua. Dua orang sebelumnya telah lebih dahulu tiba di Mimika dua hari sebelumnya, yaitu Sekretaris Direktorat Pengabdian Masyarakat UGM, Rachmawan Budiarto, dan Kepala Subdirektorat Pemberdayaan Masyarakat, Nanung Agus Fitriyanto.
Baca Juga
Advertisement
Kemudian disusul Hendro Wartatmo Dokter Spesialis Bedah, dosen FK UGM, Fita Wirastuti yang juga dokter anak RSA UGM, dan tiga dosen lainnya. Kamis pagi, para akademisi ini memutuskan untuk menempuh jalur laut setelah anggaran yang dibawanya tidak mencukupi untuk menyewa pesawat yang dibanderol Rp 42 juta untuk membawa mereka ke Asmat.
Lewat laut, mereka merogoh kocek yang lebih murah, yaitu Rp 20 juta, untuk menyewa longboard atau sejenis perahu bermesin dua yang termasuk perahu tradisional. Dari Mimika, tim kemudian bertolak menuju Pelabuhan Pomako dengan harapan bisa berangkat pagi.
Namun di luar perkiraan, penyedia jasa sewa perahu masih harus mencari satu buah mesin perahu lagi serta membeli bahan bakar di Kota Mimika. Praktis pukul 14.00 WIT, perahu tradisional itu perlahan mulai menjauhi dermaga Pomako.
"Informasinya hanya empat jam, bayangan kami tidak sampai malam tiba di sana," ungkap Rachmawan Budiarto saat menceritakan kisah di hadapan wartawan Solopos.com, di Ruang Direktorat Humas UGM, Senin, 5 Februari 2018.
Baca berita menarik lainnya dari Solopos.com di sini.
Ada Tangan Tuhan Selamatkan Perjalanan Tim UGM
Lagi-lagi di luar perkiraan, cuaca ekstrem dengan ombak yang lumayan ganas, membuat perahu harus melewati sungai hingga masuk di area terdalam kawasan hutan wilayah tersebut demi sedikit menghindar dari ombak. Namun, selama perjalanan itu, mereka dapat menyaksikan eksotisme Papua seperti hutan mangrove yang sangat alami nan indah.
"Bonus kami bisa melihat keindahan itu," ujar Rachmawan lagi.
Ia tidak mengetahui nama sungai tersebut, yang jelas belum berada di wilayah Asmat. Tanpa disadari, matahari tenggelam, tetapi pergulatan di sepanjang sungai belum juga usai. Artinya, perjalanan masih jauh. Sekitar pukul 19.00 WIT, nelayan yang mengantarkan mereka menghentikan kapal.
Pada awalnya mengira ada kerusakan, tetapi setelah berkomunikasi, tim dan nelayan itu memutuskan untuk bermalam di tengah sungai tersebut. Dengan kondisi seadanya, para dosen ini pun menginap di atas perahu. Semalam penuh, tidak ada yang turun dari kapal begitu juga dengan penduduk lokal yang mengangkut tim itu.
Sekitar pukul 05.30 WIB, perjalanan dilanjutkan setelah melewati sungai kemudian membelah lautan hingga pukul 12.30 WIT tiba di Distrik Agats, Kabupaten Asmat Papua.
"Selama menginap itu awak kapal yang lima orang sama sekali tidak berani turun jadi di atas kapal terus. Belakangan diketahui kalau di sepanjang sungai itu masih ada buayanya," katanya.
Hendro Wartatmo, dokter spesialis bedah RSUP Dr Sardjito ini, meyakini ada tangan Tuhan yang membantu dalam perjalanan itu, sehingga tim bisa selamat sampai ke Asmat. Termasuk dirinya yang berusia paling tua, masih mampu melakukan perjalanan berat itu, berada di atas kapal nyaris 22 jam.
"Karena perkiraan sampai Magrib jadi tidak membawa makanan, akhirnya kami makan perbekalan apa adanya. Perjalanan ini seperti menyambung nyawa," ujarnya.
Advertisement
Sampai di Asmat dengan Selamat
Bagi Fita yang juga dokter spesialis anak, perjalanan itu merupakan pengalaman pertama yang ia rasakan. Sebelumnya, ia pernah melakukan tugas di Kalimantan. Namun, kondisi medan tidak seberat di Papua.
Ia sempat tercengang, setelah tiba di Asmat, mendapatkan cerita rute yang dilaluinya sering terjadi kapal tenggelam lantaran tidak kuat menahan benturan ombak. Serta masih banyak cerita peristiwa lain dari warga yang jika itu ia dapatkan saat di Mimika, tak berani mengambil jalur laut dengan menggunakan perahu.
"Karena kami enggak tahu jadi biasa saja, karena mikirnya itu memang jalur transportasi pilihan masyarakat. Setelah kami sampai ternyata baru tahu bahwa itu adalah transportasi pilihan terakhir. Mereka sempat heran juga, karena kami bertaruh nyawa dengan longboard," kata Fita.
Selama tiga hari, tim UGM melakukan assessment terkait dengan penanganan kesehatan dengan mengunjungi tiga distrik, yaitu Agats, Sawaerma, dan Akat, untuk mempersiapkan tim lanjutan yang akan dikirim pada Maret 2018. Tim juga sempat memasang panel surya 200 Wp di Puskesmas Akat.
"Antardistrik tidak ada transportasi jalur darat, di Agats (Ibu Kota Asmat), tidak ada mobil, yang ada hanya motor bebek listrik. Ada dua mobil golf itu hanya untuk layanan kesehatan. PLN baru menjangkau dua dari 23 distrik memakai PLTD," kata Nanung Agus Fitriyanto.
Simak video pilihan berikut ini: