Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) menyambut baik hasil penilaian atau asesmen Dana Moneter Internasional (International Moneter Fund/IMF) terhadap perekonomian Indonesia di 2017. IMF menilai ekonomi Indonesia terus menunjukkan kinerja yang baik dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil 5,07 persen di tahun lalu, sekaligus kondisi makroekonomi yang terjaga, sehingga risiko sistemik dapat terkendali.
Gubernur Bank Indonesia, Agus D.W. Martowardojo menyampaikan hal tersebut, hari ini (07/02/2018) di Jakarta, menanggapi hasil asesmen IMF yang dimuat dalam Laporan Konsultasi Artikel IV untuk Indonesia 2017, atau Indonesia: 2017 Article IV Consultation, yang telah dibahas dalam pertemuan Dewan Direktur (Executive Board) IMF di Washington D.C. pada 10 Januari 2018.
"IMF dalam asesmennya terhadap Indonesia menyatakan bahwa saat ini Indonesia berada pada posisi yang baik dalam mengatasi berbagai tantangan socio-economy," kata Agus, Rabu (7/2/2018).
Baca Juga
Advertisement
Lebih lanjut mantan Menteri Keuangan itu mengatakan, IMF memperkirakan bahwa dengan skenario reformasi fiskal dan reformasi lainnya pertumbuhan potensial Indonesia dapat mencapai 6,5 persen di jangka menengah atau tahun 2022.
Dikatakan Agus, para Direktur Eksekutif IMF dalam pertemuan tersebut memuji perekonomian Indonesia dan menyambut baik fokus bauran kebijakan jangka pendek otoritas yang ditujukan untuk mendukung pertumbuhan sekaligus menjaga stabilitas.
Dewan Direktur juga memandang positif upaya otoritas yang memfokuskan pengeluaran publik ke sektor-sektor prioritas dan menyambut baik kemajuan investasi infrastruktur di Indonesia.
Agus menuturkan, para Direktur Eksekutif IMF menekankan bahwa tahapan reformasi fiskal-struktural yang baik harus menjadi prioritas sehingga bisa dilakukan mobilisasi penghasilan negara untuk mendukung kebutuhan pembiayaan pembangunan lainnya.
"Ke depan, Dewan Direktur memandang outlook perekonomian Indonesia positif, namun menekankan perlunya tetap waspada terhadap berbagai risiko," ucap Agus.
Pandangan IMF tersebut sejalan dengan hasil asesmen Bank Indonesia yang meyakini bahwa resiliensi perekonomian Indonesia semakin membaik. BI memandang bahwa pencapaian positif tersebut tidak terlepas dari hasil sinergi kebijakan yang telah berjalan baik selama ini.
Di sektor fiskal, kata Agus, pemerintah telah menjalankan reformasi perpajakan dan meningkatkan kualitas pengeluaran anggaran terutama untuk proyek infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Di sektor riil, pemerintah telah melakukan upaya-upaya untuk memperbaiki iklim investasi dan merevisi ketentuan terkait investasi infrastruktur guna mendorong percepatan pembangunan proyek-proyek infrastruktur.
Sementara itu, BI senantiasa mengoptimalkan bauran kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran guna menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.
“Kebijakan makroekonomi yang ditempuh secara konsisten dan terukur oleh pemerintah dan BI menjadi faktor penopang utama membaiknya kinerja perekonomian nasional. BI memandang bahwa terdapat peluang untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi domestik yang lebih kuat dan berkelanjutan melalui penguatan implementasi reformasi struktural," papar Agus.
Oleh karena itu, Bank Indonesia akan terus memperkuat koordinasi kebijakan bersama pemerintah untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan, serta mendukung upaya pemerintah untuk melaksanakan reformasi struktural yang menyeluruh.
Ditjen Pajak Intip Data Kartu Kredit Nasabah, Ini Reaksi Bankir
Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati sudah menerbitkan aturan wajib lapor data tagihan kartu kredit nasabah minimal Rp 1 miliar setahun bagi perbankan. Hal ini menimbulkan reaksi dari para bankir.
Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI), Suprajarto berharap kepada pemerintah untuk menimbang kembali kebijakan wajib lapor data dan informasi kartu kredit nasabah karena dikhawatirkan memicu kegaduhan.
"Mudah-mudahan oleh pemerintah bisa dipikirkan kembali untuk tidak dalam waktu dekat," kata dia saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta pada 5 Februari 2018.
Dihubungi terpisah, Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA), Jahja Setiaatmadja tak ingin berspekulasi dengan dampak dari kebijakan tersebut.
Dia akan menunggu masukan dari nasabah atas rencana Ditjen Pajak mengintip data kartu kredit untuk tagihan paling sedikit Rp 1 miliar setahun.
"Ini belum dapat masukan dari nasabah, kami tidak mau mengada-ada. Gaduh atau tidaknya kalau sudah betul-betul ada komplain dari nasabah, baru kami bisa komen berdasarkan fakta. Jadi nanti kita tanya lebih detail ke nasabah," jelas Jahja.
Untuk diketahui, wajib lapor data kartu kredit nasabah itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 228/PMK.03/2017 tentang Rincian Jenis Data dan Informasi serta Tata Cara Penyampaian Data dan Informasi yang Berkaitan Dengan Perpajakan.
Dalam beleid PMK 228, ada 23 bank atau lembaga penyelenggara kartu kredit yang wajib lapor ke Ditjen Pajak, yakni:
Pan Indonesia Bank, Ltd.Tbk
PT Bank ANZ Indonesia
PT Bank Bukopin Tbk
PT Bank Central Asia (BCA) Tbk
PT Bank CIMB Niaga Tbk
PT Bank Danamon Indonesia Tbk
PT Bank MNC Internasional
PT Bank ICBC Indonesia
PT Bank Maybank Indonesia Tbk
PT Bank Mandiri (Persero) Tbk
Advertisement
Paling Lambat April 2019
PT Bank Mega Tbk
PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI)
PT BNI Syariah
PT Bank OCBC NISP Tbk
PT Bank Permata Tbk
PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) Tbk
PT Bank Sinarmas
PT Bank UOB Indonesia
Standard Chartered Bank
The Hongkong & Shanghai Banking Corp (HSBC)
PT Bank QNB Indonesia
Citibank N.A
PT AEON Credit Services.
Data transaksi nasabah kartu kredit yang wajib diserahkan ke Ditjen Pajak harus memuat nama bank, nomor rekening kartu kredit, ID merchant, nama merchant, nama pemilik kartu, alamat pemilik kartu.
Juga harus mencantumkan Nomor Induk Kependudukan (NIK)/Nomor paspor pemilik kartu, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pemilik kartu, bulan tagihan, tanggal transaksi, rincian transaksi, nilai transaksi, dan pagu kredit.
Ditjen Pajak akan mulai mengintip data dan informasi kartu kredit pada nasabah yang tercatat memiliki total tagihan dengan batas minimal Rp 1 miliar setahun untuk periode Januari-Desember 2018.
"Data (kartu kredit) itu dilaporkan perbankan untuk pertama kalinya kepada Ditjen Pajak paling lambat akhir April 2019," tegas Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak, Hestu Yoga Saksama