Menaker Jelaskan Kebijakan Moratorium Penempatan TKI

Raker dengan DPR, Menaker Hanif Jelaskan Kebijakan Moratorium Penempatan TKI

oleh Cahyu diperbarui 08 Feb 2018, 11:48 WIB
Raker dengan DPR, Menaker Hanif Jelaskan Kebijakan Moratorium Penempatan TKI

Liputan6.com, Jakarta Menteri Ketenagakerjaan, M. Hanif Dhakiri, mengadakan Rapat Kerja dengan Komisi IX DPR RI. Dalam raker yang dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi IX DPR Syamsul Bachri (F-PG) ini, ia menyampaikan masalah moratorium terbatas penempatan TKI ke luar negeri dan perpanjangan MoU penempatan yang telah habis masa berlakunya.

Hanif menjelaskan latar belakang moratorium adalah belum adanya Undang-Undang (UU) mengenai perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI) di negara penempatan, belum adanya mekanisme penyelesaian masalah PMI di negara penempatan, banyaknya kasus-kasus yang terjadi di negara penempatan, serta belum optimalnya tata kelola PMI di Indonesia.

“Tujuan pemberlakukan moratorium adalah perbaikan tata kelola perlindungan PMI di Indonesia, mendorong negara tujuan penempatan untuk memperbaiki aturan/tata kelola penempatan dan perlindugnan pekerja asing, dan memiliki mekanisme penyelesaian masalah PMI,” ujarnya, di Gedung DPR Jakarta, Rabu (7/2/2018).

Hanif menjelaskan, pemberlakuan moratorium TKI tersebut sesuai amanat pasal 31 UU Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) yang menyaatakan penempatan PMI hanya dapat dilakukan ke negara tunjuan penempatan yang telah memiliki peraturan perundangan yang melindungi tenaga kerja asing, perjanjian bilateral, dan jaminan sosial.

"Tindak lanjut dari Moratorium adalah Kepmen 260 tetap berlaku dan moratorium TKI tidak dibuka, kemudian akan melakukan review dan re-negosiasi MoU dengan negara tujuan penempatan. Ketiga, kesepakatan membangun sistem penempatan dan perlindungan melalui one channel system antara Indonesia dengan negara tujuan penempatan dan keempat memperkuat kapasitas atase ketenagakerjaan," ucapnya.

Sebanyak 19 negara yang terkena moratorium, imbuh Hanif adalah Arab Saudi, Aljazair, Bahrain, Kuwait, Irak, Lebanon, Libia, Maroko, Mauritania, Mesir, Oman, Sudan, Qatar, Palestina, Suriah, Tunisia, Persatuan Emirat Arab (PEA), Yaman, dan Yordania.

Terkait peningkatan kapasitas Atnaker, dirinya menegaskan pihaknya akan terus meningkatkan statuts dari staf teknis menjadi atase (diplomat).

"Tadinya hanya punya empat atase, sekarang ada tambahan sembilan atase. Jadi total 13, ini perkembangan bagus karena statusnya sudah lebih baik. Atase status diplomat berarti paspornya hitam, " kata dia.

Peningkatan kapasitas lainnya adalah menambah jumlah staf pada atase ketenagakerjaan sesuai dengan beban tugas karena di negara-negara tertentu stafnya stafnya sangat sedikit sementara yang diurus sangat banyak.

"Di Hong Kong ada 200 ribu tenaga kerja, stafnya hanya satu orang dan dua staf lokal. Urusi 200 ribu berat sekali," ujarnya.

Hanif juga berencana menambah jumlah atase ke negara yang memiliki intensitas hubungan ketenagakerjaan tinggi dan negara tujuan penempatan PMI. Misalnya, Swiss atase ketenagakerjaan karena Indonesia satu-satunya negara ASEAN yang tidak memiliki Atase di Jenewa.

Di Jepang juga, banyak yang bekerja melalui IJEPA dan pemagangan tetapi tak punya Atase Ketenagakerjaan.

"Malaysia, kondisi di negara bagiannya spesifik jadi perlu penambahan Atase untuk wilayah Serawak, Penang dan Johor. Australia dan beberapa negara lain, " ucap Hanif.

 

 

(*)

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya