Liputan6.com, Jakarta Menteri Ketenagakerjaan, M. Hanif Dhakiri, mengatakan, kebijakan moratorium penempatan pekerja migran atau tenaga kerja Indonesia sektor informal (pembantu rumah tangga) ke seluruh negara kawasan Timur Tengah, merupakan bagian dari perlindungan pekerja migran dan perbaikan tata kelola perlindungan pekerja migran. Hal ini ia sampaikan dalam Rapat Kerja dengan Komisi IX DPR RI yang dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi IX DPR, Syamsul Bachri, Rabu (7/2/2018).
“Moratorium adalah bentuk dari melindungi pekerja migran Indonesia dari risiko di negara tujuan,” ujar Hanif.
Advertisement
Ia menjelaskan, latar belakang dibuatnya moratorium adalah karena belum adanya regulasi mengenai perlindungan pekerja migran di negara penempatan. Negara di kawasan Timur Tengah belum memiliki mekanisme penyelesaian masalah pekerja migran. Pemerintah Indonesia belum melihat adanya komitmen kuat dari pemerintah negara–negara di Timur Tengah dalam memberikan perlindungan kepada pekerja migran.
Merujuk pada tingginya kasus yang menimpa pekerja Indonesia di kawasan tersebut, Menteri Ketenagakerjaan mengeluarkan Peratuan Menteri Nomor 260/2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia pada Pengguna Perseorangan. Inti dari peraturan tersebut adalah menghentikan pengiriman pekerja migran, khususnya sektor pembantu rumah tangga di seluruh negara Timur Tengah.
Negara yang dimaksud adalah Arab Saudi, Aljazair, Bahrain, Kuwait, Irak, Lebanon, Libia, Maroko, Mauritania, Mesir, Oman, Sudan, Qatar, Palestina, Suriah, Tunisia, Uni Emirat Arab, Yaman, dan Yordania.
Selama moratorium, pemerintah Indonesia terus mendorong negara di kawasan tersebut untuk memperbaiki aturan/tata kelola penempatan dan perlindungan pekerja migran, serta memiliki mekanisme penyelesaian yang jelas jika terjadi masalah yang menimpa pekerja migran Indonesia. Pemerintah juga melakukan peninjauan nota kesepahaman (MoU) dengan negara tujuan penempatan.
Dalam rangka memperbaiki tata kelola perlindungan pekerja migran, pemerintah Indonesia mengajak negara tujuan untuk membangun sistem penempatan dan perlindungan melalui one channel system antara Indonesia dengan negara tujuan. Indonesia juga menambah jumlah Atase Ketenagakerjaan di negara-negara yang banyak menerima pekerja asal Indonesia. Semula hanya ada lima Atase Ketenagakerjaan, kini menjadi 11.
Hanif mengatakan, pemberlakuan moratorium juga sesuai amanat pasal 31 UU Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) yang menyaatakan, penempatan pekerja migran Indonesia hanya dapat dilakukan ke negara tujuan penempatan yang telah memiliki peraturan perundangan yang melindungi tenaga kerja asing, perjanjian bilateral, dan jaminan sosial.
(*)