AJI dan IJTI Desak Revisi Tanggal Hari Pers Nasional

Setelah Soeharto jatuh menyusul gerakan reformasi tahun 1998, ada sejumlah perubahan penting yang terjadi terkait dengan Hari Pers Nasional.

oleh Liputan6.com diperbarui 09 Feb 2018, 22:39 WIB
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Pemprov Sumatera Barat resmi me-launching Hari Pers Nasional (HPN) 2018 di Jakarta, Minggu (10/9). Rencananya, saat hari puncak itu akan dihadiri oleh Presiden RI bersama Menteri Kabinet. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Liputan6.com, Jakarta - Sebagian masyarakat pers Indonesia memperingati tanggal 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional, meski sejatinya itu adalah hari kelahiran organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Peringatan tahunan ini mulai dilakukan setelah Presiden Soeharto mengeluarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 5 tahun 1985 yang menetapkan tanggal itu sebagai Hari Pers Nasional (HPN).

Setelah Soeharto jatuh menyusul gerakan reformasi tahun 1998, ada sejumlah perubahan penting yang terjadi.

Dalam bidang media, itu ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Sejumlah regulasi Orde Baru dibidang pers, juga dikoreksi. Termasuk di antaranya adalah pencabutan SK Menpen Nomor 47 Tahun 1975 tentang pengakuan pemerintah terhadap PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan di Indonesia.

Lahirnya Undang-Undang Pers juga mendorong bermunculannya organisasi wartawan, selain perusahaan media-media baru. Sebelumnya regulasi media cetak diatur ketat melalui Permenpen No.01/Per/Menpen/1984 Tentang Ketentuan-Ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers. Ketentuan soal SIUPP ini juga akhirnya dicabut oleh pemerintah pada 1999.

Namun, salah satu tradisi peninggalan Orde Baru di bidang pers yang masih dipertahankan hingga kini adalah peringatan Hari Pers Nasional, meski rujukannya sudah tak ada lagi. HPN menggunakan rujukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers.

Regulasi itu sudah direvisi tahun 1982 dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982. Undang-undang tersebut tak berlaku lagi setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999.

"Untuk itu, Dewan Pers sebagai payung bagi organisasi komunitas pers diminta segera membahas revisi tanggal HPN seperti yang diajukan AJI dan IJTI," kata Ketua AJI Abdul Manan dan Ketua IJTI Hendriana Yadi dalam keterangan bersama, yang diterima Liputan6.com, Jakarta, Jumat (9/2/2018).

Perubahan tanggal itu diharapkan tidak hanya membuat Hari Pers Nasional bisa diperingati oleh lebih banyak komunitas pers, tapi juga untuk mengubah tradisi pelaksanaannya selama ini. Harapannya, perubahan tanggal itu akan membuat pelaksanaannya lebih memberi manfaat untuk publik dan juga komunitas pers.

 


Jaga Nama Baik

Ketua Umum PWI Pusat Margiono dan Gubernur Sumatera Barat, Irwan Prayitno meresmikan Peluncuran Hari Pers Nasional (HPN) 2018 di Jakarta, Minggu (10/9). Peluncuran HPN 2018 dimeriahkan dengan balutan nuansa budaya Minang. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Selain itu, keduanya juga meminta agar Presiden Jokowi mencabut Surat Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1985 yang menjadi dasar hukum penetapan 9 Februari sebagai HPN. Karena ada sejumlah masalah mendasar dalam pelaksanaannya, dasar hukum dari Keppres itu sudah tidak berlaku lagi.

Selanjutnya AJI dan IJTI juga menyerukan kepada media dan jurnalis untuk menjaga nama baik profesi jurnalis dan kredibilitas media dengan bersikap profesional dan mematuhi etik. Salah satu bentuk kepatuhan pada sikap profesional dan mematuhi etika, salah satunya adalah dengan tidak bersikap partisan dalam momentum politik Pilkada dan Pilpres.

"Bagi yang jurnalis yang terjun ke politik, sepatutnya segera menanggalkan profesinya sebagai wartawan agar tidak menodai profesi yang mulia ini," demikian maklumat dari AJI dan IJTI.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya