Liputan6.com, Jakarta - Harga minyak turun lebih dari 3 persen pada Penutupan perdagangan Jumat (Sabtu pagi waktu Jakarta), dengan harga minyak AS turun di bawah US$ 60 per barel untuk pertama kalinya sejak Desember karena kekhawatiran kenaikan pasokan.
Mengutip Reuters, Sabtu (10/2/2018), harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS turun US$ 1,95 atau 3,2 persen menjadi US$ 59,20 per barel. Angka ini merupakan level terendah sejak 22 Desember.
Sedangkan harga minyak Brent futures turun US$ 2,02 per barel, atau 3,1 persen menjadi US$ 62,79 per barel, merupakan penutupan terendah sejak 13 Desember.
Baca Juga
Advertisement
"Pelemahan harga minyak ini bukan karena satu faktor saja tetapi karena beberapa alasan," kata Jim Ritterbusch, Presiden Ritterbusch & Associates.
Gejolak di pasar saham menjadi salah satu alasan yang membuat harga minyak tertekan dalam. Dalam perdagangan Jumat, S&P 500 sempat turun ke level terendah sejak 5 Oktober tetapi kemudian berhasil pulih.
Pemulihan Wall Street ini membantu harga minyak memantul dari posisi terendah.
Alasan lainnya adalah perusahaan jasa minyak Baker Hughes mengatakan bahwa total sumur pengeboran (rig) darat AS naik 26 sumur menjadi 791 sumur, tertinggi sejak Januari 2017.
Penambahan sumur pengeboran yang beroperasi ini karena harga minyak menguat hingga pertengahan Januari.
Investor khawatir dengan kenaikan produksi minyak mentah AS ini akan membanjiri upaya OPEC dan negara produsen lainnya untuk mengurangi pasokan.
Perdagangan Sebelumnya
Pada perdagangan sehari sebelumnya, harga minyak juga jatuh dipicu kekhawatiran meningkatnya pasokan minyak dunia pasca rencana Iran mengumumkan menaikkan produksi dan produksi minyak mentah AS yang menembus rekor tertinggi.
"Harga minyak tetap tertekan karena pelaku pasar terus mencerna laporan persediaan minyak," kata Analis Energi Senior, Abhishek Kumar.
Administrasi Informasi Energi AS (EIA) menyatakan, produksi minyak mentah pada pekan lalu naik ke rekor tertinggi sebanyak 10,25 juta barel per hari (bpd).
Dalam laporannya EIA memproyeksikan produksi minyak mentah AS akan mencapai rekor tertinggi dengan rata-rata 10,6 juta bpd pada 2018. Jumlah ini akan terus meningkat menjadi 11,2 juta bpd pada 2019, atau naik 9,3 juta barel per hari di 2017.
Produksi minyak mentah AS ini akan menyalip Arab Saudi sebagai produsen terbesar di Organisasi Negara Pengekspor Minyak (Organization of The Petroleum Exporting Countries/OPEC).
OPEC dan produsen minyak lainnya, termasuk Rusia telah memangkas produksi sejak Januari 2017. Tujuannya untuk menekan pasokan minyak mentah global. Akan tetapi, pemotongan produksi ini justru diimbangi dengan meningkatnya produksi minyak AS.
Harga minyak pun tertekan oleh rencana Iran yang ingin meningkatkan produksi dalam empat tahun ke depan.
"Iran ingin meningkatkan produksi (minyak) meskipun mereka mematuhi kesepakatan OPEC-Rusia (memangkas produksi)," ujar Partner at Energy Hedge Fund Again Capital LLC, John Kilduff.
Advertisement