Semangat Anti-Kolonialisme dan Aroma Kopi di Museum Multatuli

Museum Multatuli di dekat Alun-Alun Rangkasbitung, Lebak, Banten resmi dibuka Minggu 11 Februari 2018.

oleh Yandhi Deslatama diperbarui 12 Feb 2018, 08:00 WIB
Museum Multaltuli di Lebak, Banten, resmi dibuka Minggu, 11 Fabruari 2018

Liputan6.com, Lebak - Museum anti-kolonialisme pertama di Indonesia resmi dibuka pada Minggu 11 Februari 2018. Bernama Museum Multatuli, yang berdiri di bangunan Kawedanan Lebak serta berlokasi di dekat Alun-Alun Rangkasbitung.

Museum ini mengambil nama pena Multatuli, seorang warga negara Belanda yang bernama asli Edward Douwes Dekker. Museum itu berisi tujuh ruangan, yang menggambarkan bagaimana Multatuli dan sejarah perjuangan masyarakat Banten melawan kolonialisme kala itu.

"Museum yang tidak hanya berbicara Multatuli. Ini adalah museum anti-kolonialisme dan sejarah kolonialisme itu sendiri yang pertama di Indonesia," kata Bonnie Triyana, sejarawan Indonesia asal Lebak, Banten, usai peresmian Museum Multatuli.

Museum ini didedikasikan untuk seluruh masyarakat Indonesia dan dunia, yang terus berjuang untuk melawan penjajahan gaya baru.

Semangat persatuan dan kesatuan Indonesia tergambar jelas dari museum ini. Di dalamnya pengunjung dapat melihat novel terbitan pertama Douwes Dekker berbahasa Prancis hingga tegel asli rumah Multatuli.

"Museum ini bukan hanya milik Lebak, tapi juga milik Indonesia dan dunia. Museum ini mengangkat sejarah kolonialisme di Indonesia," kata Bupati Lebak, Iti Octavia Jayabaya.

Pengunjung akan disambut oleh muka Multatuli yang dibuat dari pecahan kaca. Lalu, pengunjung akan diajak memasuki ruang multimedia, berisikan film dokumenter terkait penjajahan di Indonesia.

Lalu di ruang lainnya, akan menggambarkan bagaimana sejarah Kabupaten Lebak. Di dalam seluruh museum, pengunjung akan betah, karena memiliki harum asli dari kopi, kayu manis, dan rempah-rempah lainnya.

Ada juga ruangan yang menyimpan surat tulisan tangan Douwes Dekker, catatan panjang sejarah perlawanan kepada kolonialisme yang dilakukan masyarakat Banten hingga penyaringan dan pahlawan kemerdekaan yang terinspirasi dari karya Multatuli, seperti Soekarno, Hatta, Tan Malaka hingga Pramoedya Ananta Toer.

"Novel Multatuli menjadi perlawanan di masanya. Museum Multatuli menjadi simbol perlawanan kepada kebodohan, kemiskinan dan ketertinggalan saat ini," terangnya.

Iti bercerita kalau dirinya bersama tim pendiri museum, sempat mendapati suara satir dari orang yang menolak berdirinya museum Multatuli.

Namun, museum yang di depannya terdapat patung Multatuli dan roman Saija-Adinda saat penjajahan Belanda ini, tetap berdiri setelah perjuangan selama empat tahun lamanya.

"22 Januari 1886, sehari sesudah pengangkatan Kawedanan, Multatuli berpidato, isinya mari kita bersukacita di Banten kidul, daerah kami tertinggal, maka kami punya banyak pekerjaan yang mulia," jelas Iti.


Max Havelaar Menembus Dunia

Novel karya Multaltuli ini mengguncang dunia

Museum Multatuli menyimpan barang peninggalan dan menceritakan sejarah Eduard Douwes Dekker, mantan Asisten Residen Lebak, Banten (sekitar 1856 atau abad XIX) yang memihak rakyat Lebak dalam perjuangannya.

Setidaknya, ada 34 artefak asli maupun replika Douwes Dekker akan ditampilkan di Museum Multatuli yang dahulu adalah gedung bekas Kawedanan Belanda itu. Bahkan, beberapa di antaranya didatangkan langsung dari Belanda.

"Ada artefak dari negeri Belanda, ini juga sinergitas kita dari yayasan rumah Multatuli di negeri Belanda, ada tegel yang dulu jadi rumah tinggal Douwes Dekker. Miniatur kapal VOC juga. Ada beberapa yang dibawa (dari Belanda)," ucap Iti Octavia Jayabaya.

Beberapa barang asli yang dipamerkan bakal dibungkus dalam kotak kaca, seperti novel Max Havelaar edisi pertama dalam bahasa Prancis, peta Lebak terbitan pertama, biografi Eduard Douwes Dekker alias Multatuli hingga buku zaman Kerajaan Belanda.

"Di mana sewaktu (Multatuli) menjadi (asisten) Residen Belanda di Lebak, dia bukan menindas rakyat Lebak, justru Multatuli mendorong masyarakat Lebak untuk bangkit dari kemiskinan," ujar Iti.


Buku yang Dianggap Membunuh Kolonialisme

Museum Multaltuli di Lebak, Banten, dibuka hari ini, Minggu, 11 Februari 2018

Berdasarkan informasi yang dirangkum Liputan6.com, Max Havelaar terbit kali pertama pada 15 Mei 1860 di Amsterdam, Belanda. Novel ini ditulis Eduard Douwes Dekker di bawah nama pena Multatuli.

Max Havelaar memang bukan karya biasa. Novel ini menggegerkan karena menghamparkan kenyataan pahit kehidupan masyarakat Lebak di bawah cengkeraman kolonialisme dan feodalisme. Sebagai mantan asisten residen di Lebak, Douwes Dekker dianggap cakap memotret kondisi penduduk pribumi tertindas.

Buku ini ditulis Douwes Dekker di sebuah losmen yang disewanya di Belgia, pada musim dingin 1859. Tulisannya merupakan kritik tajam yang telah membuka sebagian besar mata publik dunia, tentang betapa perihnya arti dari sebuah penindasan (kolonialisme).

Bahkan, mendiang Pramoedya Ananta Toer pernah menyebutnya sebagai buku yang "membunuh" kolonialisme. Kemunculan Max Havelaar menggemparkan dan mengusik nurani.

Diterjemahkan dalam berbagai bahasa dan diadaptasi dalam berbagai film dan drama, boleh dibilang, gaung kisah Max Havelaar masih menyentuh banyak pembaca hingga kini.

Adapun Eduard Douwes Dekker mengembuskan napas terakhir di Rhein, Jerman, 19 Februari 1887, pada usia 66 tahun.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya