Liputan6.com, Jakarta - Mengawali pekan ini, bursa saham Asia bergerak variasi setelah Wall Street ditutup menguat pada perdagangan Jumat pekan lalu. Laju bursa saham Asia pun terimbas kenaikan tipis harga minyak mentah dunia pasca mencatatkan penurunan beruntun dalam enam hari.
Mengutip CNBC, Jakarta, Senin (12/2/2018), indeks Kospi Korea Selatan dibuka menguat 0,54 persen pada perdagangan saham awal pekan ini. Saham-saham teknologi memimpin, antara lain saham Samsung Elektronics berhasil rebound 1,43 persen, saham SK Hynix menguat 0,82 persen. Disusul sektor saham keuangan terkerek naik.
Baca Juga
Advertisement
Sedangkan sektor saham industri kapal berguguran. Saham perusahaan pembuat kapal, seperti Samsung Heavy Industries turun turun 1,81 persen, dan saham Hyundai Heavy Industries bergerak di tempat setelah laporan pendapatan perusahaan yang turun pada kuartal IV- 2017.
Indeks saham Australia, ASX 200 tergelincir 0,64 persen karena penurunan pendapatan perusahaan terus berlanjut. Sektor saham energi tercatat merosot 1,06 persen, Santos turun 1,24 persen, dan saham Beach Energy anjlok 3,31 persen.
Saham-saham produsen emas pun tumbang, antara lain Newcrest Mining and Evolution Mining masing-masing turun 1,22 persen dan 3,23 persen. Sektor saham ritel anjlok 4,7 persen.
Sementara itu, bursa saham Jepang tutup karena hari libur nasional.
Bursa saham Asia mengalami tekanan cukup berat pada pekan lalu. Indeks Nikkei Jepang ditutup melemah 2,32 persen pada Jumat pekan lalu. Penurunan tajam dialami indeks Nikkei yang susut 11,38 persen dari level tertinggi 52 mingguan.
Indeks Shanghai jatuh 12,75 persen, indeks Hang Seng Hong Kong anjlok 11,88 persen. Pelemahan tajam itu dipengaruhi sentimen kekhawatiran investor atas kenaikan suku bunga global.
Pasar saham global mengalami kejatuhan mulai awal Februari. Indeks Dow Jones harus kehilangan 666 poin setelah ada laporan data tenaga kerja yang lebih kuat dari perkiraan menyusul kenaikan imbal hasil obligasi AS. Bursa saham Amerika Serikat (AS) atau wall street mampu naik 330,44 poin atau 1,38 persen ke posisi 24.190 pada akhir pekan lalu. Wall street mampu menguat usai alami penurunan terburuk selama sepekan. Penurunan itu terbesar dalam dua tahun.
"Imbal hasil obligasi kemungkinan akan kembali menguat dan ketidakpastian tidak dapat dihindari," ujar Kepala Ekonom AMP Capital, Shane Oliver.
Yang perlu diperhatikan pula langkah Presiden AS, Donald Trump yang sudah meneken rencana anggaran sekitar US$ 300 miliar dan telah sah menjadi Undang-undang (UU).
Dalam sepekan terakhir, harga minyak stabil setelah terus tenggelam karena kenaikan produksi minyak di AS dan penguatan kurs dolar AS.
Harga minyak West Texas Intermediate (WTI) AS naik tipis 0,29 persen menjadi US$ 59,37 per barel. Sebelumnya harga minyak WTI berada di bawah level US$ 59 per barel, lalu naik untuk pertama kalinya. Harga minyak mentah berjangka Brent naik 0,06 persen di posisi US$ 62,83 per barel. Di pasar uang, indeks dolar AS terhadap mata uang utama lainnya di posisi 90,35. Sedangkan terhadap yen stabil berada di posisi 108,77.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Wall Street Menguat pada Pekan Lalu
Sebelumnya, Wall Street atau bursa saham Amerika Serikat (AS) menguat lebih dari 1 persen pada penutupan perdagangan Jumat. Penguatan ini memberikan sedikit angin segar kepada investor karena pada hari-hari sebelumnya Wall Street mengalami guncangan yang cukup keras.
Mengutip Reuters, Sabtu 10 Februari 2018, Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 330,44 poin atau 1,38 persen menjadi 24.190,9. Sedangkan S&P 500 naik 38,55 poin atau 1,49 persen menjadi 2.619,55. Untuk Nasdaq Composite menambah 97,33 poin atau 1,44 persen menjadi 6.874,49.
Meskipun pada perdagangan Jumat mengalami kenaikan jika dihitung secara mingguan Wall Street mengalami pelemahan yang cukup dalam.
S&P 500 turun 5,2 persen dalam sepekan dan merupakan presentase penurunan terbesar dalam satu pekan sejak Januari 2016 atau dalam dua tahun.
Dalam perdagangan Jumat, S&P 500 mampu menguat 2,2 persen tetapi juga mengalami tekanan yang cukup dalam dengan turun 1,9 persen. Volatilitas yang cukup lebar ini tidak hanya dialami oleh S&P 500 saja tetapi juga beberapa indeks acuan lainnya seperti Dow Jones dan Nasdaq.
"Saya kira dengan volatilitas yang cukup tinggi seperti ini pelaku pasar tidak mendasarkan pada faktor fundamental," jelas analis Columbia Threadneedle Investments, Boston, Anwiti Bahuguna.
Advertisement