Liputan6.com, Purwokerto - Seorang warga Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Jamingan (43) mengajukan gugatan praperadilan melawan Kepala Kepolisian Resor Banyumas.
"Permohonan gugatan praperadilan ini sudah didaftarkan di Pengadilan Negeri Purwokerto pada tanggal 9 Februari 2018," kata kuasa hukum penggugat, Djoko Susanto, saat menggelar konferensi pers di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Minggu, 11 Februari 2018, dilansir Antara.
Ia mengatakan pengajuan permohonan gugatan praperadilan tersebut didasari oleh penangkapan anak sulung Jamingan, RNR (19) yang saat sekarang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus persetubuhan terhadap anak sesuai dengan Pasal 81 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Menurut dia, penangkapan tersebut berawal dari kedatangan dua orang berpakaian preman di rumah Jamingan, Desa Karanggude Kulon, Kecamatan Karanglewas, Banyumas, pada 8 Januari 2018, sekitar pukul 17.30 WIB.
Baca Juga
Advertisement
Dalam hal ini, dua orang yang mengaku sebagai polisi menjemput RNR dengan alasan akan dimediasi dengan korban. Ternyata, RNR tidak dibawa ke rumah korban untuk mediasi, melainkan langsung dibawa ke Polres Banyumas atas dugaan tindak pidana persetubuhan anak.
"Dua orang yang datang ke rumah Pak Jamingan itu tidak membawa surat tugas atau surat perintah penangkapan," kata Djoko.
Ia mengatakan saat keluarga RNR mendatangi Polres Banyumas, di Ruang Unit Pelayanan dan Perlindungan Anak ada korban bersama ibundanya yang baru membuat laporan polisi, sekitar pukul 23.30 WIB, dan baru diperiksa sebagai pelapor.
Menurut dia, laporan polisi dibuat sekitar pukul 23.30 WIB dan belum memeriksa korban dan saksi-saksi. Tapi, polisi sudah menangkap RNR dan selanjutnya ditahan.
"Orangtua RNR baru mendapatkan pemberitahuan adanya penangkapan terhadap RNR keesokan harinya, yakni tanggal 9 Januari 2018. Sejak penangkapan tersebut hingga permohonan praperadilan diajukan, pihak keluarga RNR tidak mendapatkan tembusan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP)," katanya.
2 Alasan
Terkait dengan hal itu, kata dia, keluarga RNR memutuskan untuk mengajukan permohonan gugatan praperadilan melawan Kapolres Banyumas. Menurut dia, ada dua hal yang mendasari gugatan praperadilan tersebut, yakni tindakan sewenang-wenang dari polisi dalam menangkap seseorang dan tidak adanya tembusan SPDP yang diterima oleh RNR.
Dalam hal ini, lanjut dia, penangkapan terhadap RNR yang tidak melalui mekanisme atau prosedur hukum yang baik merupakan tindakan yang tidak sah menurut hukum.
"Tidak adanya SPDP ini melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 130/PUU-XII/2015 yang menyatakan bahwa penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/atau pelapor dalam waktu paling lambat tujuh hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan," jelasnya.
Ia mengatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XII/2015 juga disebutkan, "apabila tidak dilakukan pemberitahuan SPDP oleh penyidik kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor, maka penyidikan dianggap batal demi hukum".
"Kami tidak berbicara pada pokok perkara. Yang kami tuntut adalah tindakan sewenang-wenang dari polisi dalam melakukan penangkapan terhadap seseorang dan tidak adanya tembusan SPDP," tegas Djoko.
Sementara itu, Jamingan beserta keluarganya yang hadir dalam konferensi pers tersebut mengharapkan agar RNR dapat bebas dari tuntutan hukum. "Yang jelas inginnya anak saya bebas," kata Jamingan.
Melalui saluran telepon, Kapolres Banyumas AKBP Bambang Yudhantara Salamun mengatakan hal itu merupakan hak tersangka yang diwakilkan kepada kuasa hukumnya untuk mengajukan praperadilan.
"Silakan, kalau memang dianggap ada kesalahan, silakan. Kami akan terbuka dan nanti akan kami buktikan bahwasanya tidak ada kesalahan prosedur dalam penangkapan tersangka tersebut," katanya.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement