Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat di awal pekan ini. Rupiah bergerak di kisaran sempit pada perdagangan hari ini.
Mengutip Bloomberg, Senin (12/2/2018), rupiah dipatok di angka 13.610 per dolar AS, melemah jika dibandingkan dengan patokan perdagangan sebelumnya yang ada di angka 13.628 per dolar AS.
Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di kisaran 13.600 per dolar AS hingga 13.628 per dolar AS. Jika dihitung dari awal tahun, rupiah melemah 44 persen.
Baca Juga
Advertisement
Sedangkan menurut Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), rupiah dipatok di angka 13.609 per dolar AS. Patokan pada hari ini menguat jika dibandingkan dengan patokan Jumat lalu yang ada di angka 13.643 per dolar AS.
Dolar AS memang sedikit melemah di kawasan Asia terutama terhadap yen Jepang. Pelemahan dolar AS ini karena pasar saham di negara tersebut mampu menguat sehingga mengurangi permintaan akan aset safe haven.
Analis senior Sumitomo Mitsui Banking Corporation Satoshi Okagawa menjelaskan, nilai tukar dolar AS akan terombang-ambing ke depan karena adanya keputusan pengangkatan Gubernur Bank Sentral Jepang.
Pemerintah Jepang kembali menunjuk Haruhiko Kuroda untuk menduduki posisi Gubernur Bank Sentral Jepang. Ini adalah penunjukan kedua Haruhiko Kuroda untuk menduduki jabatan tersebut.
Langkah ini menandakan kebijakan moneter akan tetap longgar dalam beberapa tahun ke depan. "Ada potensi pelemahan yen atau penguatan dolar AS ke depannya," jelas dia dikutip dari Reuters.
Efek Rencana Kenaikan Suku The Fed
Sebelumnya, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), Mirza Adityaswara mengatakan, pelemahan rupiah tersebut bukan suatu cerminan dari fundamental ekonomi Indonesia. Sebab, bukan hanya rupiah saja yang melemah, tapi juga mata uang negara lain.
"Negara-negara lain currency-nya menguat, kita menguat. Sekarang ada volatilitas temporer ya negara-negara lain juga ada pelemahan ya Indonesia juga currency-nya melemah sedikit," ujar dia pekan lalu.
Dia menjelaskan, pelemahan rupiah tersebut merupakan efek dari rencana Bank Sentral AS, The Federal Reserve (The Fed) yang akan menaikkan suku bunga acuannya pada Maret 2018. Sehingga pelemahan tersebut dinilai sebagai suatu hal yang wajar.
"Kalau kita sekarang ekspektasi Maret kenaikan (suku bunga The Feb) pertama di 2018, berarti volatilitas (nilai tukar) di Februari ini suatu hal yang normal saja," kata dia.
Menurut Mirza, yang harus dilakukan Indonesia dalam menghadapi pelemahan ini adalah dengan meningkatkan kinerja ekspor baik barang maupun jasa. Dengan demikian, pelemahan tersebut tidak berdampak pada neraca perdagangan dan suplai valas bisa tetap terjaga.
Advertisement