Kepala Daerah Rela Korupsi demi Ikut Pilkada, Ini Sebabnya

Marianus Sae merupakan salah satu kepala daerah yang melakukan dugaan korupsi untuk mengikuti Pilkada 2018.

oleh Lizsa Egeham diperbarui 13 Feb 2018, 08:04 WIB
Ilustrasi Korupsi (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Bupati Ngada, Nusa Tenggara Timur (NTT) Marianus Sae sebagai tersangka kasus dugaan penerimaan suap proyek di kabupaten tersebut. Marianus merupakan salah satu kepala daerah yang melakukan tindakan korupsi untuk mengikuti Pilkada 2018.

Diketahui, Marianus bersama Emilia Nomleni maju dalam Pilgub NTT 2018 dengan diusung PDIP dan PKB. KPK menduga uang suap yang diterima Marianus akan digunakan untuk biaya politik Pilkada 2018.

KPK juga pernah menjerat Bupati Jombang Jawa Timur, Nyono Suharli Wihandoko sebagai tersangka dugaan suap yang berkaitan dengan jabatan. Uang suap tersebut dijadikan oleh politikus Partai Golkar ini untuk membiayai kampanye dalam Pilkada Jombang 2018. Nyono berencana kembali maju menjadi calon Bupati Jombang periode 2018-2023.

Pengamat Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai ada beberapa faktor yang membuat kepala daerah 'rela' melakukan korupsi demi mengikuti pilkada. Salah satunya, kata dia, adalah besarnya biaya kampanye yang dibutuhkan oleh calon kepala daerah.

"Banyak kepala daerah korupsi karena sejak sistem pemilihan kepala daerah secara langsung, sang calon membutuhkan biaya agar dapat dikenal para pemilih," kata Fickar saat dihubungi Liputan6.com, Senin 12 Februari 2018.

Menurut dia, biaya politik yang besar tersebut terdiri dari, biaya survei dan turnamen-turnamen olahraga atau kegiatan-kegiatan massal. Hal itu juga diperlukan oleh pasangan petahana, meskipun sosoknya telah dikenal oleh masyarakat.

"Kegiatan-kegiatan untuk memperkenalkan diri pada masyarakat tentu saja ini butuh biaya banyak," ujar Fickar.

 


Untuk Mahar

Ilustrasi Korupsi

Dia menuturkan penyebab lainnya adalah, calon kepala daerah harus membayar jika ingin diusung oleh partai politik. Terlebih, jika dibutuhkan koalisi dengan beberapa partai politik.

"Sewa perahu partai dalam rangka menjadi calon kepala daerah juga membutuhkan biaya yang banyak, apalagi kalau beberapa parpol. Biaya kampanye dan biaya saksi juga tidak murah. Akumulasi dari pengeluaran-pengeluaran itu menyebabkan kepala daerah selalu mencari peluang pengembalian harta yang sudah dikeluarkan," jelas Fickar.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya