Tuk Panjang, Upaya Merawat Toleransi dan Keberagaman

Meja makan yang sangat panjang disediakan dengan menu sama untuk semua tanpa membedakan strata sosial, suka, agama, dan ras.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 14 Feb 2018, 05:03 WIB
Duduk bersama di meja panjang, tanpa membedakan strata sosial menjadi roh tradisi Tuk Panjang. Namun kini penyelenggaraan lebih formal dan meja pejabat dibedakan dengan masyarakat umum. (foto : Liputan6.com/edhie

Liputan6.com, Semarang Masih tentang Imlek 2018 di Semarang. Kali ini ada sebuah meja yang sangat panjang memenuhi ruas jalan Wotgandul Timur Semarang. Di atas meja itu berbagai hidangan tersaji dan siap santap. Sementara di sisi kanan kirinya, kursi juga sudah dipasang rapi.

Selamat bergabung dalam tradisi Tuk Panjang. Sebuah tradisi yang selalu digelar untuk menunjukkan kesetaraan warga Semarang. Ini adalah tradisi makan bersama di meja panjang. Tradisi ini pula menandai dimulainya Pasar Imlek Semawis, sebuah pasar malam yang digelar tiap menjelang Imlek.

Pembukaan selalu sama, dengan bunyi kencreng, yakni alat musik tradisional Tiongkok yang menyerupai simbal. Pelaksanaan tradisi Tuk Panjang tahun 2018 dihadiri berbagai strata masyarakat. Mulai dari Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi, hingga para tukang becak yang biasa mangkal di sekitar itu.

Menurut Wali Kota Hendrar Prihadi, tradisi Tuk Panjang ini harus terus dijaga. Ini adalah sebuah kearifan lokal, dimana masyarakat sudah sangat dewasa dalam menyikapi keberagaman.

"Kita tahu, ada saja pihak tertentu yang mencoba mengoyak keberagaman ini. Namun dengan pemahaman kesetaraan, kita selalu berhasil melewatinya. Momentum Imlek 2018 menjadi sebuah monumen pengingat," kata Hendi kepada Liputan6.com, Selasa (13/2/2018).

 


Perayaan Jaman Now

Seorang pengunjung Pasamuan Jaman Now tersenyum sambil menunjukkan menu yang dipilihnya. Menu ini disediakan lintas strata sosial, agama dan suku maupun ras. (foto: Liputan6.com / edhie)

Tahun ini, tradisi Tuk Panjang mengangkat thema "Pasamuan Jaman Now". Pasamuan berasal dari bahasa Jawa. Artinya, berkumpulnya banyak orang dalam waktu tertentu. Bisa juga berarti pesta makan-makan.

Hendi menyebutkan bahwa zaman now atau saat ini pesta-pesta makan enak tetaplah membawa dan menebar energi positif. Ini sangat penting agar keberagaman terawat.

"Acara ini juga untuk membantah bahwa mereka yang menyebut anak jaman now gagal paham tradisi. Tadi saya lihat banyak remaja milenial dan yang lebih muda juga terlibat. Tak hanya dari Tionghoa, namun yang lain juga. Ini sangat baik," kata Hendi.

Sementara itu menurut Ketua Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata (Kopi Semawis) Haryanto Halim juga mengatakan perayaan imlek bukan hanya sekadar membahas angpao. Ada pesan kebersamaan di dalamnya.

"Itu kenapa kami menyebutnya Pasamuan Anak Zaman Now. Kami ingin semangat silaturahim ini dapat dimengerti dan dilestarikan oleh anak muda," kata Halim.

 


Kegelisahan Kaum Urban

Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi berjongkok dan berdialog dengan salah satu panitia tradisi Tuk Panjang dalam pembukaan pasar Imlek Semawis. (foto : Liputan6.com/edhie)

Tradisi Tuk Panjang ini sebenarnya merupakan akulturasi dari tradisi makan bersama di Tiongkok saat Imlek dan gagasan pilinan sosial masyarakat Jawa. Ketika dua kultur ini menyatu dan hidup di masyarakat urban, maka menjadi sebuah tradisi baru.

Budayawan Al Agus Supriyanto menyebutkan bahwa akulturasi itu sebenarnya merupakan naluri bawah sadar manusia yang rindu akan kebiasaan di masa kecilnya. Namun ketika sudah menjadi urban, kegelisahan itu menyatu.

"Terbentuklah budaya baru, Dan karena kegelisahan yang sama, maka cepat sekali bisa diterima publik sehingga menjadi suatu tradisi," kata Al Agus.

Tahun 2018, perayaan Imlek di Semarang diisi sejumlah rangkaian acara. Pasar Imlek Semawis berlangsung dari tanggal 12-14 Februari 2018 di sepanjang ruas Gang Pinggir hingga Wotgandul Timur Semarang. Selama berlangsungnya pasar Imlek itu, jalan ditutup.

Saksikan video pilihan berikut ini:

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya