Akhir Cerita Drama Pengesahan UU MD3

DPR telah mengesahkan UU MD3 pada rapat paripurna pada 12 Februari 2018.

oleh Ika Defianti diperbarui 13 Feb 2018, 09:57 WIB
Menkumham Yasonna Laolly menyerahkan pandangan akhir pemerintah soal RUU MD3 kepada Wakil Ketua DPR Fadli Zon saat Rapat Paripurna Pengesahan RUU MD3 menjadi UU, Jakarta, Senin (12/2). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Drama panjang pengambilan keputusan dan pengesahan Revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 mengenai MPR, DPR, DPD dan DPRD atau MD3 telah berakhir. UU MD3 yang telah disahkan pada rapat paripurna pada 12 Februari 2018 itu merupakan UU pertama yang disahkan pada kepemimpinan Ketua DPR RI Bambang Soesatyo.

Pria yang biasa disapa Bamsoet ini pernah menyatakan, RUU MD3 diharapkan segera terselesaikan berdasarkan mekanisme yang ada. Sebab saat ini, Indonesia tengah memasuki tahun politik, mulai dari Pilkada Serentak 2018 hingga Pemilu 2019.

"Sudah berlarut-larut dan juga segera menyiapkan lapangan politik yang adem di parlemen," kata Bamsoet.

Sebelum keputusan diparipurnakan, Panja RUU MD3 mengelar rapat kerja bersama pihak pemerintah yang diwakili oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly hingga dini hari, 8 Februari 2018.

Kesepakatan itu pun disetujui, sebanyak delapan fraksi yang terdiri dari PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Hanura, Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Ketua Panja RUU MD3, Supratman Andi Agtas menyatakan terpenting saat ini mayoritas fraksi telah menyepakati untuk dibawa ke Paripurna.

"Delapan fraksi sudah setuju dan pemerintah sudah setuju. Jadi kira-kira gambarannya juga akan sama di sidang Paripurna yang akan datang, kalau ada yang menolak kira-kira dua fraksi akan menolak," ujar dia.

 

 


Dinamika MD3 di Paripurna

Ketua DPR Bambang Soesatyo yang didampingi Wakil Ketua DPR Fadli Zon, Taufik Kurniawan dan Agus Hermanto saat Rapat Paripurna Pengesahan RUU MD3 menjadi UU di gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (12/2). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Benar saja, saat rapat paripurna yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon, delapan fraksi tetap menyetujui dan dua lainnya meminta menunda pengesahan dan pengambilan keputusan tingkat dua itu.

Interupsi terjadi, yakni perwakilan dari Fraksi Nasdem dan Fraksi PPP. Perwakilan dari Fraksi Nasdem, Johnny Plate beralasan substansi di dalam draf UU MD3 itu terlalu frakmatis dan memicu adanya kepentingan untuk kelompok tertentu.

"Agar revisi ini tidak disahkan hari ini dan diadakan pembahasan lagi. Ini terbuka peluang oligarki DPR, nanti DPR akan semakin dikritisi masyarakat," ucap Plate di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin 12 Februari 2018.

Sedangkan perwakilan dari PPP, Arsul Sani menyatakan dalam draf RUU MD3 dalam pengisian pimpinan tambahan melanggar konstitusional.

Bahkan, saat mau disahkan UU tersebut, perwakilan dari Fraksi Nasdem melakukan walk out dan diikuti Fraksi PPP.

Sebelumnya, pada awal tahun 2017 telah menyatakan kesepakatan adanya penambahan pimpinan di DPR yang diisi dari partai pemenang Pemilu yakni PDI Perjuangan.

Ternyata, penambahanpun terjadi pula di MPR dengan jumlah sebanyak tiga bangku pimpinan yang akan diisi partai pimpinan Megawati Soekarnoputri, partai pimpinan Prabowo Subianto, dan partai pimpinan Muhaimin Iskandar atau Cak Imin.

Kendati begitu penambahan jumlah pimpinan hanya berlangsung hingga akhir kepimpinan periode 2019. Sedangkan tahun 2019-2024 tetap menggunakan sistem lama seperti halnya periode pemerintahan 2009-2014.


Ini 14 Substansi dalam UU MD3

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laolly menghadiri Rapat Paripurna Pengesahan RUU MD3 menjadi UU, Jakarta, Senin (12/2). Rapat Paripurna DPR resmi mengesahkan RUU No 17/2014 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD menjadi Undang Undang. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Ketua Badan Legislasi (Baleg) Supratman Andi Agtas menyatakan terdapat 14 substansi dalam Revisi MD3 yang disahkan menjadi UU saat rapat paripurna.

Supratman menyatakan yang pertama yaitu penambahan pimpinan MPR, DPR dan DPD serta penantian wakil pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Kedua adanya perumusan kewenangan DPR dalam bahas RUU yang berasal dari presiden dan DPR maupun diajukan oleh DPD.

"Ketiga adanya penambahan rumusan tentang pemanggilan paksa dan penyanderaan terhadap pejabat negara atau warga masyarakat secara umum yang melibatkan Kepolisian," kata Supratman di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (12/2/2018).

Keempat, penambahan rumusan penggunaan hak interpelasi, hak angket, hak mengatakan pendapat kepada pejabat negara. Politikus Gerindra ini melanjutkan dalam draf itu ada juga yang menghidupkan kembali badan akuntabilitas keuangan negara.

Keenam ada penambahan pula rumusan tentang kewenangan sama Baleg dalam penyusunan RUU tentang pembuatan laporan kinerja inventarisasi masalah di bidang hukum.

Untuk substansi ketujuh yaitu perumusan ualng terkait tugas dan fungsi MKD. Kedelapan ada penambahan rumusan kewajiban mengenai laporan hasil pembahasan APBN dalam rapat pinjaman sebelum pengambilan keputusan pada pembicaraan tingkat satu.

"Kesembilan ada penambahan rumusan mekanisme pemanggilann WNI dan orang asing secara paksa dalam hal tidak memenuhi pemanggilan panitia angket," lanjut dia.

Selanjutnya untuk substansi ke-10 itu adanya penguatan hak imunitas anggota DPR dan pengecualian hak imunitas. Poin sebelas ada penambahan rumusan wewenang tugas DPD dalam pantau dan evaluasi Raperda dan Perda.

"Selanjutnya keduabelas penambahan rumusan kemandirian DPD dalam rumusan anggaran," ujarnya.

Poin ketigabelas ada penambahan rumusan Badan Keahlian Dewan (BKD) dan terakhir adanya penambahan rumusan mekanisme pimpinan MPR, DPR dan alat kelengkapan dewan hasil Pemilu dan ketentuan mengenai mekanisme penetapan pimpinan MPR, DPR dan kelengkapan dewan setelah Pemilu 2019.

"Demikian pokok-pokok substansi perubahan dan beberapa catatan hasil RUU perubahan kedua tentang MD3," jelas Supratman.

 

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya