Amlapura - Hamil di luar ikatan pernikahan tidak hanya dilarang agama, tetapi juga adat. Hal itu merupakan pantangan warga Desa Adat Tenganan Pegringsingan, Karangasem, Bali.
Kalau sampai ada yang hamil duluan, pemangku desa yang berada di Kecamatan Manggis, Karangasem, ini akan secara tegas memberikan sanksi yang sudah diterapkan secara turun-temurun.
Desa Adat Tenganan Pegringsingan termasuk salah satu desa tua di Bali. Desa yang dikelilingi bukit ini, termasuk konsisten mempertahankan konsep Tri Hita Karana. Desa ini juga masih menjaga adat dan budaya leluhurnya. Tunduk terhadap aturan adat setempat.
Baca Juga
Advertisement
Seperti saat Bali Express (Jawa Pos Group) bertandang ke Tenganan Pegringsingan, Kamis siang (11/5/2017). Puluhan krama desa terlihat berkumpul di rumah Klian Desa Adat Tenganan, Ketut Sudiastika. Sebagian besar kaum laki-laki.
Mereka menggunakan pakaian sehari-hari khas desa setempat, yakni untuk laki-laki menggunakan kamen, tanpa baju. Mereka menggunakan udeng.
Ternyata saat itu di rumah Sudiastika sedang dipusatkan upacara yang oleh warga di sana disebut Nampah Dandan Beling. "Oh, ini adalah upacara karena ada warga mempunyai anak perempuan hamil di luar nikah," ujar Sudiastika, seraya menyarankan untuk menggali informasi dari Klian Desa Adat lainnya, I Wayan Sudarsana.
Desa tua ini memiliki enam desa adat. Berbeda dengan desa lainnya di Bali, yang pada umumnya dipimpin satu klian. Sudiastika merupakan klian adat pertama dari enam klian lainnya di sana. Jadi, kegiatan upacara dilakukan di sana.
Baca berita menarik lainnya dari JawaPos.com di sini.
Sanksi Ringan, Beban Moral yang Berat
Klian Desa Adat Tenganan Pegringsingan, I Wayan Sudarsana menjelaskan, bahwa kata nampah itu berarti menyembelih atau memotong. Sedangkan, dandan artinya denda atau sanksi.
"Kalau beling tak perlu dijelaskan, pasti sudah tahu. Artinya hamil," ujar Sudarsana, ramah.
Upacara itu bisa dibilang mohon pengampunan karena ada wanita hamil di luar nikah di desanya. Upacara tersebut digelar tiap tahun, tepatnya sasih kapat (bulan keempat) berdasarkan kalender desa setempat.
Dengan nada serius, Sudarsana mengungkapkan bahwa di desa setempat pantang untuk hamil di luar nikah. Kalau sampai terjadi, orangtua si perempuan ini harus bayar denda.
Jumlahnya tak begitu besar. Dulu dendanya berupa dua keteng uang kepeng. Zaman semakin modern, denda dikonversi menjadi rupiah. Besarannya seribu rupiah. Ini dibayar tiap tahun seumur hidup orangtua si perempuan.
"Kecil kan? Cuma seribu rupiah. Tapi sanksi moralnya itu yang berat. Malu ketahuan desa. Berarti orangtua ini tidak bisa menjaga anak gadisnya," tegas Sudarsana.
Denda ini hanya berlaku untuk orangtua si perempuan yang mempunyai anak perempuan hamil sebelum menikah, dan pada akhirnya menikah dengan laki-laki satu desanya. Cuma, hal ini tidak berlaku bagi wanita hamil di luar nikah yang pada akhirnya menikah dengan laki-laki dari luar desa atau wanita hamil tidak ada yang mengakui anaknya.
"Mempelai diminta jujur, sudah hamil apa belum. Kalau hamil, ya, denda. Tidak berani bohong," sebutnya.
Selain membebankan denda terhadap orangtua si perempuan, hamil di luar nikah ini juga membuat desa setempat menggelar upacara yang disebutnya Nampah Dandan Beling.
Krama desa adat memotong seekor babi, harus babi hitam, mulus, tidak boleh cacat. Daging babi ini untuk dihaturkan di semua pura di sana. Kemudian, krama adat makan bersama dengan menu daging babi berbagai jenis olahan.
"Nanti kalau ada sisa, dibagi lagi, bawa pulang. Tradisi ini digelar tiap tahun. Babinya dibeli desa adat," dia memungkasi.
Simak video pilihan berikut ini:
Advertisement