Ini Alasan Kanker Paru Kerap Ditemukan Stadium Lanjut

Juru bicara BNPB, Sutopo, didiagnosis kanker paru stadium IVB. Mengapa ada kecenderungan kanker paru ditemukan stadium lanjut?

oleh Benedikta Desideria diperbarui 13 Feb 2018, 15:30 WIB
Ilustrasi Kanker Paru Paru (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta Awak media dikejutkan dengan informasi juru bicara Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho, didiagnosis kanker paru. Bukan stadium I atau II, melainkan IVB.

"Dokter bilang saya kanker paru-paru stadium 4B pertengahan Januari lalu," begitu tulis Sutopo lewat pesan singkat ke awak media.

Di Indonesia, penyakit yang diderita Sutopo merupakan salah satu jenis kanker yang paling banyak ditemukan pada pria. Sayangnya, kecenderungan kanker paru ditemukan sudah stadium lanjut.

"Biasanya ditemukan sudah stadium III dan IV. Kalau sudah ada keluhan atau penyebaran biasanya datang karena itu," kata dokter spesialis paru RSUP Persahabatan Jakarta, Elisna Syahruddin kepada Liputan6.com lewat sambungan telepon Selasa (13/2/2018).

Wanita yang menyelesaikan pendidikan spesialis paru di Fakultas Kedokeran Universitas Indonesia ini mengatakan gejala kanker paru tidak khas. Itu yang jadi penyebab sering ditemukan sudah stadium lanjut.

"Gejala umum kanker paru itu seperti batuk, sesak napas, nyeri dada. Enggak khas kan?," kata Elisna.

 

 

 Saksikan juga video menarik berikut:


Pentingnya Cek Kesehatan Agar Terhindar Kanker Paru

Ilustraasi foto Liputan 6

Mengingat gejala kanker paru yang tidak khas, Elisna menyarankan untuk melakukan pemeriksaan paru setahun sekali. Pada orang yang memiliki banyak faktor risiko disarankan untuk kontrol lebih sering dibanding yang tidak memiliki banyak faktor risiko.

Beberapa faktor risiko diantaranya adalah usia di atas 40, terpapar asap rokok, polusi udara, tinggal daerah dekat pabrik atau pertambangan, dan anggota keluarga memiliki riwayat kanker.

"Faktor risiko yang paling tinggi adalah umur ya. Kalau sudah di atas 40, rajinlah kontrol. Kalau punya banyak faktor risiko, enam bulan sekali kontrol, kalau enggak punya faktor risiko setahun sekali," pesan wanita yang pernah menempuh pendidikan S3 di Jepang ini.

Saat kontrol kesehatan paru, kata Elisna, sebaiknya ke dokter spesialis paru terlebih dahulu. Bukan langsung ke laboratorium.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya