Liputan6.com, Jakarta Umurnya masih sangat muda, 18 tahun. Bukan tanpa tanda-tanda. Penyakit tersebut mungkin datang hanya diketahui oleh dirinya. Bukan karena dia tidak bisa bicara, namun karena dia memiliki down syndrome.
Advertisement
Dia meninggal setahun yang lalu. Dia berpulang akibat komplikasi. Salah satunya adalah naiknya gula darah yang menyebabkan diabetes.
Sosok dengan down syndrome itu Sebastian Fabi Prasasti. Satu-satunya saudara kandung yang saya miliki. Alasan saya kembali ke rumah setelah sekian lama merantau.
Mengutip dari Healthline pada Rabu (14/2/2018), down syndrome atau dalam bahasa Indonesia disebut sindrom down, adalah kondisi di mana seorang anak dilahirkan dengan kromosom 21 yang berlebih.
Hal ini membuat mereka yang menyandang down syndrome akan mengalami keterlambatan dalam hal perkembangan mental.
Wajahnya berbeda dari orang biasanya. Tubuhnya juga gemuk dan bulat. Anak dengan sindrom down memiliki kecenderungan fisik untuk lebih gemuk. Namun, otot-otot mereka lemah. Ini membuat fisik mereka juga lebih lemah ketimbang individu pada umumnya.
Karena kecenderungan untuk gemuk inilah, penderita sindrom down harus berhati-hati dengan apa yang mereka konsumsi. Obesitas dan diabetes bisa saja menjadi pemicu penyakit yang lebih berbahaya bagi penderita sindrom down.
Walaupun begitu, bukan berarti dia tidak bisa apa-apa. Ibu kami mengajarkannya bermain gitar dan dia bisa melakukannya. Saya sendiri, pernah mencoba mengajarkannya untuk bermain drum. Walaupun hasilnya tidak sebagus ketika dia bermain gitar.
Simak juga video menarik berikut ini:
Bahagia tanpa kenal perbedaan
Kesulitan komunikasi mungkin juga dirasakan mereka yang pernah mengenal Fabi. Bentuk lidah yang berbeda dengan banyak orang, menyulitkan anak dengan down syndrome sepertinya sulit dalam mengucapkan kata-kata. Walaupun begitu, bukan berarti dia tidak mampu memberikan keceriaan pada orang lain. Dia anak yang periang.
Ketika dia meninggal, tetangga, keluarga, hingga mantan pembantu rumah tangga dan pedagang kaki lima langganan keluarga kami datang berbela sungkawa. Mereka tidak percaya, anak yang lucu dan banyak memberikan mereka kebahagiaan itu tiada.
Banyak dari para pelayat yang mendoakan dirinya sesuai agama yang mereka anut. Seorang ustad memimpin anak-anak dari sekolahnya --yang merupakan sekolah negeri-- untuk mendoakan Fabi. Meski Fabi bukanlah seorang Muslim.
Saya ingat apa yang dikatakan ustad tersebut pada teman-teman sekolah adik saya. Dalam ceramahnya saat itu, ustad mengatakan, siapa pun akan meninggal. Tidak peduli siapa pun mereka, agama mereka, umur mereka. Hanya saja kita tidak tahu kapan.
Advertisement
Peran orangtua
Fabi mudah akrab dengan orang lain. Bahkan bisa jadi orang lebih mengenal dirinya dibandingkan saya yang tidak pernah di rumah karena merantau. Karena pembawaan ramahnya terhadap orang lain inilah yang membuat Fabi tidak mengenal apa itu perbedaan agama maupun ras. Bukan karena dia tidak bisa untuk tahu. Hal-hal abstrak seperti itu tidak pernah terpikirkan olehnya.
Ayah kami sering mengajaknya untuk sekadar membeli makanan atau nongkrong di komplek. Dan itulah yang membuatnya dikenal oleh banyak orang. Ibu kami sering mengajaknya ke kantor, serta mengajarinya berdoa.
Ini membuktikan, anak dengan down syndrome mampu dididik untuk bisa bergaul dengan orang lain. Peran orangtua sangat besar. Tapi, dibutuhkan adaptasi yang cukup lama bagi anak sindrom down ketika berada di lingkungan yang baru.
Setiap kami berlibur di rumah Nenek, Fabi akan sulit untuk tidur. Dia tidak akan bisa tidur ketika berada di tempat selain di rumahnya.
Sekarang, Fabi sudah di rumah yang jauh lebih nyaman. Meski begitu singkat Fabi menjadi bagian keluarga kami, dia telah mengajarkan banyak hal, terutama mengenai berbagi kebahagiaan tanpa pandang perbedaan.