Liputan6.com, Solo - Kopral Bagyo memiliki cara unik untuk meredam isu SARA yang marak muncul dalam politik saat ini. Ia menggandeng komunitas pemuda Tionghoa dan penarik becak untuk melakukan aksi kebersamaan dan kerukunan dengan bermain sothokan dan saling gendong.
Kopral Bagyo menggelar aksi nyentrik yang penuh pesan damai itu di halaman Benteng Vastenburg, Solo, Rabu, 14 Februari 2018. Awalnya, dua kelompok yang terdiri dari penarik becak dan pemuda etnis Tionghoa menggelar unjuk rasa dengan membawa poster bertuliskan 'Hentikan politik SARA merusak Bhinneka Tunggal Ika'.
Baca Juga
Advertisement
Setelah itu, dua kelompok itu pun langsung beradu sothokan yang dipimpin langsung Kopral Bagyo. Adu permainan yang penuh dengan rasa keakraban dan kebersamaan itu berlangsung seru.
Usai adu sothokan, kemudian dilanjutkan dengan aksi gendong. Para pemuda etnis Tionghoa menggendong para penarik becak sambil berlari kecil di halaman Benteng Vastenburg.
Sikap Saling Menghargai
Tak hanya itu, para penarik becak juga diberi angpao, botol minum, serta voucher makan gratis nasi liwet. Tak pelak aksi yang digagas Kopral Bagyo itu berakhir dengan penuh rasa kekeluargaan.
Kopral Bagyo mengatakan aksi tersebut digelar dalam rangka meredam isu SARA yang berkembang dalam perpolitikan saat ini. Menurutnya, isu tersebut jangan dibawa-bawa karena mengancam persatuan.
"Kalau isu SARA untuk berpolitik maka negara akan hancur dan masyarakat jadi resah," kata dia usai melakukan aksi di halaman Benteng Vastenburg, Solo.
Advertisement
Filosofi Permainan
Dengan aksi ini, lanjut Kopral Bagyo, ingin memberikan contoh agar masyarakat itu rukun dan damai tidak mudah terpancing dengan isu seperti itu.
"Jika masyarakatnya rukun dan damai, negara pun aman dan tentram," harapnya.
Sedangkan, terkait permainan sothokan, Kopral Bagyo menjelaskan itu merupakan permainan pedesaan untuk adu kuat jari. Adu kuat secara filosofi bukan adu domba, tetapi yang kuat harus melindungi yang lemah.
"Yang merasa kuat harus membantu yang lemah," kata dia.
Kerukunan Telah Terjalin Lama di Solo
Sementara itu, perwakilan pemuda Tionghoa, Tanu Kismanto mengatakan kebersamaan akulturasi budaya yang terjadi dalam masyarakat Solo sudah ada sejak abad 18 lalu. Keberadaan Masjid Agung, Klenteng Tien Kok Sie, serta Gereja St Antonius di Solo menjadi bukti jika sejak lama kerukunan dan kebersamaan itu sudah terjalin di Solo.
"Itu bukan kebetulan kok ada bangunan di situ tapi itu semua ada sejarah kebersamaan di mana pada saat itu, Raja Pakubuwono III bersama komunitas Tionghoa yang datang dengan laskar Cheng Ho melawan VOC," jelasnya.
Untuk itu, ia pun ingin menularkan semangat kebersamaan itu kepada generasi muda saat ini. "Semangat kebersamaan ini untuk menuju Indonesia yang damai dan Solo yang damai," harap dia.
Simak video pilihan berikut ini:
Advertisement