Liputan6.com, Jakarta Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) meminta pemerintah untuk menaikkan batas nilai rekening nasabah perbankan yang wajib dilaporkan kepada Direktorat Jenderal Pajak. Saat ini, perbankan diwajibkan untuk melaporkan data nasabahnya dengan nilai rekening di atas Rp 1 miliar.
Ketua Bidang Pengkajian dan Pengembangan Perbanas, Aviliani mengatakan, pihaknya telah mengusulkan agar batas nilai rekening tersebut dinaikkan menjadi di atas Rp 3 miliar.
Advertisement
"Sekarang usulannya di Rp 3 miliar ke atas. Ini masih di tataran usulan," ujar dia di kawasan Senopati, Jakarta, Rabu (14/2/2018).
Selain soal batas nilai rekening, lanjut dia, yang menjadi perhatian Perbanas terkait aturan ini adalah soal jaminan kerahasiaan data nasabah.
Menurut Aviliani, dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bisa turun tangan dan menjadi pintu bagi perbankan untuk melaporkan data nasabahnya.
"Masyarakat kita ini masih takut kalau datanya dimanfaatkan secara tidak benar. Sistem pelaporannya harus satu pintu, lewat OJK. Jadi tidak langsung," kata dia.
Meski demikian, Aviliani menyatakan kewajiban untuk melaporkan data rekening nasabah ini memang sudah harus dilakukan, seiring era keterbukan informasi perpajakan atau Automatic Exchange of Information (AEoI).
Namun pemerintah harus memberikan jaminan agar masyarakat merasa aman jika datanya tetap aman.
"Harus disosialisasikan bahwa tidak perlu takut. Data itu aman di tangan Ditjen Pajak, tidak akan dimanfaatkan untuk sesuatu yang tidak benar," tandas dia.
Cara Ditjen Pajak Jamin Data Saldo Rekening yang Diintip Tak Akan Bocor
Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menjamin keamanan data nasabah dalam rangka akses keterbukaan informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan.
Pasalnya selain berstandar internasional, tidak seluruh pegawai pajak dapat mengakses atau mengintip data tersebut untuk mengintimidasi nasabah.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak, Hestu Yoga Saksama mengungkapkan, data atau informasi keuangan saldo rekening nasabah domestik dan asing yang berasal dari lembaga jasa keuangan akan seluruhnya terpusat di kantor Ditjen Pajak.
"Semua data yang masuk akan terpusat di kantor pusat. Data itu disampaikan by sistem, tapi data itu akan tetap kita manfaatkan untuk mengecek kepatuhan mereka, apakah saldo sudah dilaporkan ke SPT atau membayar pajak dengan benar," jelas dia di kantornya, Jakarta, Rabu (14/2/2018).
Ditjen Pajak, sambung Hestu Yoga, akan menganalisis terlebih dahulu data saldo rekening atau informasi keuangan dari lembaga jasa keuangan. Jika ada indikasi ketidakpatuhan, barulah data tersebut dilempar ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dan Kantor Wilayah (Kanwil) untuk ditindaklanjuti.
"Kalau ada indikasi ketidakpatuhan wajib pajak, baru datanya diturunkan ke KPP atau Kanwil untuk ditindaklanjuti karena itu wilayah mereka. Tapi tidak semua pegawai paak bisa mengakses kok," dia menerangkan.
Selain itu, Ditjen Pajak mengikuti standar Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purposes dalam hal akses keterbukaan informasi keuangan.
"Dari awal kami sampaikan, kami mengikuti standar Global Forum. Misalnya file di enkripsi (dilengkapi dengan pengaman)," kata Hestu Yoga.
Lembaga jasa keuangan, seperti asuransi, perbankan, dan pasar modal dalam pelaksanaan Automatic Exchange of Information (AEoI), diakuinya, akan menggunakan Sispena. Informasi keuangan akan lebih dulu dilaporkan lembaga jasa keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK), lalu selanjutnya baru ke Ditjen Pajak.
"Itu (sistem) sudah teruji bahwa itu benar-benar aman dan tidak sampai bermasalah dengan keamanan. Kami bekerja terus supaya data itu aman secara IT. Istilahnya data ditempatkan di tempat yang tahan peluru," tegasnya.
Hestu Yoga mengatakan, Ditjen Pajak akan betul-betul menjaga data nasabah dengan baik dan profesional. "Benar-benar dimanfaatkan untuk kepentingan pajak dan tidak akan bocor," katanya.
Ditjen Pajak mengaku sudah menerapkan join domain di setiap kantor pajak. Artinya, diakui Hestu Yoga, komputer yang ada di kantor pajak sudah terintegrasi satu dengan lainnya.
"Jadi siapa yang mengakses, mengambil data apa, dan lainnya, semua termonitor," ujarnya.
Aturan lainnya, dia bilang, penggunaan flash disk sebagai tempat penyimpanan data dilarang di kantor pusat Ditjen Pajak.
"Flash disk tidak bisa lagi dicolokin di komputer. Transfer data tidak bisa lagi pakai itu, ini standar keamanan yang sesuai dengan Global Forum. Tidak bisa tuh pegawai nyolokkin flash disk, lalu data dibawa pulang. Semua akan termonitor," papar Hestu Yoga.
Advertisement