Liputan6.com, Jakarta - Neraca perdagangan Indonesia di Januari 2018 diprediksi mencetak surplus sekitar US$ 233 juta. Surplus ditopang dari kenaikan volume ekspor dari mitra dagang utama Indonesia.
"Neraca perdagangan Januari ini diperkirakan surplus US$ 233 juta dengan laju ekspor tumbuh 8,58 persen (yoy) dan impor 19,64 persen (yoy)," kata Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede dalam ulasannya kepada Liputan6.com, Jakarta, Kamis (15/2/2018).
Untuk diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia pada Desember 2017 mengalami defisit sebesar US$ 270 juta.
Baca Juga
Advertisement
Josua memproyeksikan, kenaikan laju ekspor pada Januari 2018 ditopang oleh kenaikan volume dari mitra dagang utama Indonesia, seperti Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara di kawasan ASEAN.
"Terindikasi dari peningkatan aktivitas manufaktur dari negara-negara tersebut," ujar dia.
Selain itu, ia menambahkan, peningkatan kinerja ekspor terdorong tren kenaikan harga komoditas global sepanjang Januari
"Harga sebagian besar komoditas ekspor naik, seperti CPO 7 persen (MoM), batu bara naik 7 persen (MoM), dan karet alam naik harganya 3 persen (MoM) yang dipengaruhi oleh kenaikan harga minyak dunia sebesar 10 persen (MoM)," terang Josua.
Sementara itu, Josua memperkirakan, kinerja impor meningkat seiring dengan kenaikan aktivitas manufaktur domestik, meskipun masih dalam level terkontraksi (PMI manufaktur kurang dari 50).
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Neraca Perdagangan Defisit pada Akhir 2017
Sebelumnya, BPS mengumumkan neraca perdagangan Indonesia pada Desember 2017 mengalami defisit sebesar US$ 270 juta. Sedangkan secara kumulatif sepanjang Januari-Desember 2017, Indonesia mencetak surplus perdagangan senilai US$ 11,84 miliar.
Kepala BPS, Suhariyanto atau yang akrab disapa Kecuk mengungkapkan, nilai ekspor Indonesia pada Desember 2017 ini tercatat sebesar US$ 14,79 miliar atau turun 3,45 persen dibanding realisasi November 2017.
"Penyebabnya karena terjadi penurunan nilai ekspor nonmigas 5,41 persen menjadi US$ 13,28 miliar dibanding November 2017 yang sebesar US$ 14,04 miliar," ujar Kecuk pada 15 Januari 2018.
Adapun penurunan nilai ekspor barang-barang yang mengakibatkan ekspor nonmigas terseret ke bawah, antara lain lemak dan minyak hewan atau nabati US$ 119,5 juta, mesin dan peralatan listrik US$ 127,4 juta, mesin-mesin atau pesawat mekanik US$ 131,7 juta, kendaraan dan bagiannya US$ 165,7 juta, serta perhiasan atau permata US$ 205,2 juta.
Namun dari sisi ekspor migas mengalami kenaikan 17,96 persen dari US$ 1,28 miliar di November 2017 menjadi US$ 1,51 miliar di Desember 2017.
Dibanding Desember 2016 yang sebesar US$ 13,83 miliar, nilai ekspor di Desember 2017 yang sebesar US$ 14,79 miliar ini naik 6,93 persen.
Realisasi nilai ekspor pada akhir tahun lalu lebih rendah dibanding realisasi impor yang sebesar US$ 15,06 miliar. Nilai impor ini turun tipis 0,29 persen dibanding realisasi bulan sebelumnya.
"Penurunan terjadi karena impor nonmigas khususnya bahan baku/penolong merosot 3,05 persen dari US$ 12,90 miliar di November 2017 menjadi US$ 12,51 miliar di Desember 2017," terangnya.
Sementara impor migasnya di Desember lalu naik 15,89 persen dari US$ 2,20 miliar di November 2017 menjadi US$ 2,55 miliar di Desember 2017.
Dibanding realisasi Desember 2016 yang sebesar US$ 12,78 miliar, nilai impor di akhir 2017 ini mengalami kenaikan signifikan sebesar 17,83 persen.
"Jadi neraca perdagangan di Desember 2017 defisit US$ 270 juta. Ini adalah defisit kedua di sepanjang tahun lalu karena defisit pertama terjadi di Juli 2017 sebesar US$ 270 juta " ujar dia.
Jika dirinci, Kecuk mengatakan, defisit US$ 270 juta di Desember 2017 berasal dari surplus nonmigas yang mencapai US$ 774,7 juta, sementara neraca dagang minyak dan gas (migas) masih defisit lebih besar sebesar US$ 1,04 miliar.
Secara kumulatif di Januari-Desember 2017, surplus neraca perdagangan tercatat sebesar US$ 11,84 miliar. Dengan realisasi nilai ekspor US$ 168,7 miliar, naik 16,22 persen dibanding capaian periode sama 2016 sebesar US$ 145,2 miliar.
Nilai ekspor kumulatif lebih tinggi dibanding nilai impor US$ 156,89 miliar pada Januari-Desember 2017 atau naik 15,66 persen dibanding periode yang sama 2016 sebesar US$ 135,65 miliar.
Surplus US$ 11,84 miliar sepanjang tahun lalu ditopang dari surplus neraca perdagangan nonmigas sebesar US$ 20,41 miliar, sementara migas masih defisit US$ 8,57 miliar.
"Surplus neraca dagang di 2017 sebesar US$ 11,84 miliar paling tinggi sejak 2013. Pada 2013, terjadi defisit US$ 4,08 miliar, US$ 2,20 miliar di 2014, pada 2015 mengalami surplus sebesar US$ 7,67 juta, dan pada 2016 surplus US$ 9,53 juta," terang Kecuk.
Dia berharap, surplus neraca perdagangan di 2018 lebih besar lagi. "Tapi memang kita harus hati-hati dengan kenaikan harga minyak dunia karena pemangkasan produksi minyak oleh OPEC dan Rusia," tandasnya.
Advertisement