Liputan6.com, New York - Harga minyak kembali bangkit usai sempat melemah. Hal itu didorong data pemerintah Amerika Serikat (AS) menunjukkan persediaan minyak naik lebih kecil dari perkiraan pada pekan lalu.
Harga minyak West Texas Intermediate (WTI) menguat US$ 1,41 atau 2,4 persen menjadi US$ 60,60 per barel. Penguatan harga minyak itu terbesar sejak 26 Desember. Harga minyak Brent naik US$ 1,64 atau 2,6 persen ke posisi US$ 64,36 per barel di London Intercontinental Exchange.
The Energy Information Administration menyatakan, persediaan minyak AS naik 1,8 juta barel hingga 9 Februari. Perkiraan analis, produksi rata-rata minyak sekitar 2,6 juta barel. Sementara itu, data dari the American Petroleum Institute menunjukkan kalau minyak naik 3,9 juta barel.
Baca Juga
Advertisement
"Data American Petroleum Institute "artinya baik direspons" meski ada kenaikan persediaan minyak," ujar Direktur ClipperData, Matt Smith, seperti dikutip dari laman Marketwatch, Kamis (15/2/2018).
Harga minyak sempat melemah ke posisi US$ 58,20 per barel pada awal perdagangan. Kemudian akhirnya harga minyak naik usai data Energy Information Administration (EIA) di kisaran US$ 59,83.
Sementara itu, persediaan bensin naik 3,6 juta barel dibandingkan harapan kenaikan 1,4 juta. "Kekhawatiran sekarang kalau minyak mentah akan normal selama beberapa minggu ke depan seiring perputaran kilang AS," ujar Stephen Brennock, Analis PVM Oil Associates Ltd.
Persediaan minyak kembali bangkit usai turun dalam beberapa minggu. Pada saat yang sama, pelaku pasar juga khawatir dengan dampak dari produksi shale AS.
Badan Energi Internasional mengatakan, kalau produksi minyak mentah dari negara di luar Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) terutama shale AS akan melampaui permintaan minyak global pada 2018. Ini dapat menekan harga minyak lebih lanjut.
Pada akhir 2017, shale US melampaui 10 juta barel. Angka ini melebihi Arab Saudi dan menyaingi Rusia. Sebelumnya harga minyak naik lebih dari 50 persen pada semester II 2017 didukung produksi OPEC menurun dan risiko geopolitik.
Sedangkan harga minyak turun 10 persen pada pekan lalu. Hal itu didorong dari koreksi harga di pasar, dan kenaikan pasokan AS.
Menteri Energi Arab Saudi mengatakan, pemerintah Arab Saudi dan OPEC berkomitmen tetap memangkas produksi mingga akhir 2018. Bahkan jika memang harus mengimbangi pasar.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Harga Minyak Stagnan pada Perdagangan Kemarin
Sebelumnya, harga minyak tak banyak bergerak pada penutupan perdagangan Selasa (Rabu pagi waktu Jakarta). Investor tengah mengamati data produksi AS yang akan keluar.
Mengutip Reuters, Rabu 14 Februari 2018, harga minyak Brent yang merupakan patokan harga global naik 11 sen menjadi US$ 62,70 per barel.
Sedangkan harga minyak mentah Berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) turun 9 sen menjadi US$ 59,20 per barel.
Dolar AS mencapai level terendah dalam satu pekan sehingga menarik investor untuk memburu minyak. Pelemahan dolar AS membuat harga minyak lebih murah bagi investor yang bertransaksi dengan menggunakan mata uang di luar dolar AS.
"Kami telah mengurangi kerugian yang telah dibukukan pada pekan ini karena pelemahan dolar AS," jelas analis komoditas Mizuho, Bob Yawger.
Sejak pasar modal mengalami kejatuhan di awal Februari ini, harga minyak juga mengalami tekanan yang cukup dalam.
U.S. Energy Information Administration mengungkapkan pada pekan lalu bahwa produksi minyak AS diperkirakan akan melampaui 11 juta barel per hari di akhir 2018.
Hal tersebut kemungkinan akan mempengaruhi harga minyak. Sedangkan The private American Petroleum Institute akan mengeluarkan data produksi minyak AS pada hari ini.
Advertisement