RI Ekspor Jagung 57 Ribu Ton ke Filipina

Indonesia mengekspor 57.650 ton jagung ke Filipina. Jagung tersebut dipanen dari berbagai daerah di Gorontalo.

oleh Liputan6.com diperbarui 15 Feb 2018, 10:30 WIB
Panen Jagung diawal bulan Febuari 2017 merupakan hasil panen kedua yang dihasilkan dari program DMPA Kelompok Maju Tani Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten Bayuasin Sumsel (Liputan6.com/Nefri Inge)

Liputan6.com, Gorontalo - Menteri Pertanian (Mentan), Amran Sulaiman melepas kapal pengangkut jagung dengan volume 57.650 ton. Kapal tersebut berangkat dari Pelabuhan Kota Gorontalo, dan jagung akan diekspor ke Filipina. 

Amran mengatakan, ekspor jagung kali ini adalah bukti dari sejarah baru Indonesia. Puluhan tahun Indonesia paling banyak melakukan impor, tetapi sekarang di tahun ini diubah, Indonesia menjadi negara paling banyak memasok jagung ke negara lain. 

“Pendapatan masyarakat Gorontalo naik Rp 4 triliun. Bisa saja ini saya naikkan menjadi dua kali lipat sebesar Rp 8 triliun, dan itu pun masih di bidang pertanian khususnya jagung," kata dia di Gorontalo, Kamis (15/2/2018).  

Indonesia, sambung Amran Sulaiman mengekspor jagung karena negara-negara tetangga membutuhkan banyak pasokan jagung dari Indonesia. Sebut saja Filipina yang membutuhkan satu ton jagung, Malaysia membutuhkan tiga ton jagung.

Amran berharap Gorontalo di bawah kepemimpinan Gubernur Rusli Habibie bersama pemerintah pusat selalu menjaga komoditas pangan, mengingat daerah Gorontalo merupakan daerah yang subur.

"Pangan merupakan tonggak perekonomian dunia. Mudah-mudahan Gorontalo akan terus berkembang, dan lebih banyak lagi mengekspor jagung dan pangan lainya yang meniadi kebutuhan utama seperti beras juga," pungkas Amran Sulaiman. (Arfandi Ibrahim)

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

 

 


Pembatasan Impor Tembakau Kembali Tuai Protes

Derita Petani Tembakau Akibat Kenaikan Harga Rokok

Pelaku industri rokok menilai langkah pemerintah untuk membatasi impor tembakau melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 84 Tahun 2017 tentang Ketentuan Impor Tembakau tidak tepat.

Ketua Paguyuban Mitra Produksi Sigaret Indonesia (MPSI), Djoko Wahyudi, menyatakan produksi tembakau di dalam negeri saat ini belum mampu mencukupi kebutuhan industri rokok nasional.

Dalam beleid Permendag Nomor 84, ada pembatasan impor tembakau jenis Virginia, Burley, dan Oriental. Padahal, ketiga jenis tembakau ini dibutuhkan industri rokok, sedangkan hasil pertanian tembakau dalam negeri belum mencukupi.

"Kalau keran impor itu dikurangi, pasokan tembakau akan turun. Kami pun tidak akan mendapatkan garapan dan ini efeknya akan besar," kata dia, Senin (12/2/2018).

Pengetatan impor tembakau, menurut Djoko, justru akan menciptakan dampak sistemik pada mata rantai tembakau di industri rokok.

“Kalau mau menyejahterahkan petani bukan dengan menutup keran impor, itu salah besar. Perintahkan kepada semua pabrik rokok untuk membangun program kemitraan, dijamin petani tembakau sejahtera," ucap dia.

Djoko melanjutkan, impor tembakau masih dibutuhkan oleh industri rokok. Karena itu, dia mendesak pemerintah untuk memperbaiki beleid pembatasan impor tembakau.

“Iya, itu masih jauh (aturan). Kenapa impor? Karena jumlahnya masih kurang," kata dia.

Pada pekan lalu, Djoko bertemu dengan Panitia Khusus RUU Pertembakauan di Surabaya, Jawa Timur. Pada kesempatan ini, pemangku kepentingan tembakau memberikan masukan kepada Tim Pansus.

Berdasarkan data Kementerian Perindustrian (Kemenperin), jumlah produksi tembakau secara nasional hanya mencapai kisaran 190 ribu -200 ribu ton per tahun. Angka tersebut jauh di bawah kebutuhan industri, yakni 320 ribu-330 ribu ton tembakau per tahun.

Untuk saat ini, menurut Djoko, solusi buat meningkatkan produksi tembakau nasional dengan cara membangun kemitraan. Pemerintah harus memberikan arahan kepada para pabrikan rokok yang sejauh ini belum melakukan kemitraan, untuk segera menjalin kerja sama dengan petani tembakau. Lebih baik lagi jika arahan tersebut dikuatkan dengan payung hukum.

“Jadi pemerintah harus hadir di situ, sehingga pabrikan bisa memberikan pembinaan yang baik,” katanya.

Melalui program kemitraan, pabrik rokok dapat langsung mendiskusikan dengan para petani terkait besaran jumlah tembakau yang diperlukan untuk produksi dan kualitasnya. Dengan begitu, ketergantungan terhadap impor akan berkurang.

“Kalau begini, petani dan pabrikan rokok sejahtera. Pabrikan tetap jalan dan karyawan bisa terus bekerja. Semuanya enak,” ucap dia. 

Djoko juga mengatakan, selama ini tata niaga tembakau terlalu panjang karena banyaknya tengkulak. Dengan bermitra, maka akan menghilangkan tengkulak yang selama ini membeli murah dari petani dan menjual mahal ke pabrikan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya