Liputan6.com, Washington DC - Gabungan badan intelijen dan keamanan Amerika Serikat (AS) baru saja mengeluarkan peringatan kepada warganya, untuk tidak membeli ponsel pintar lansiran dua perusahaan teknologi asal China, Huawei dan ZTE.
Dilansir dari laman CNN pada Kamis (15/2/2018), peringatan yang disampaikan oleh para pejabat CIA, FBI, dan NSA di depan Komite Intelijen Senat itu menyebut bahwa ponsel pintar rakitan perusahaan teknologi asal China, dalam hal ini Huawei dan ZTE, berpotensi mengancam keamanan data privasi konsumen di Negeri Paman Sam.
Baca Juga
Advertisement
Direktur FBI, Chris Wray, mengatakan bahwa ada sebuah risiko besar berupa 'penyusupan intelijen asing' dalam perangkat telekomunikasi yang dibuat oleh dua nama perushaaan terkait.
Huawei sendiri dikenal sebagai pemimpin global dalam penyedia infrastruktur teknologi, yang sebelumnya sempat dimanfaatkan jasanya oleh pemerintah AS.
Namun dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah AS telah melarang perusahaan yang berbasis di kota Shenzhen itu menjual teknologinya ke beberapa lembaga federal.
"Huawei diduga memberi kesempatan untuk memodifikasi praktik pencurian data informasi oleh pihak asing," ujar Wray.
"Hal ini menjadi pintu emas bagi kepentingan asing untuk melakukan kegiatan spionase yang benar-benar tidak terdeteksi khalayak umum."
Pada 2012, Kongres AS merilis sebuah laporan yang menyebut dua perusahaan China, Huawei dan ZTE, patut dicurigai melakukan aksi mata-mata melalui penjualan berbagai perangkat teknologi buatannya.
Tudingan tersebut langsung dibantah keras oleh kedua perusahaan, dan menyebutnya sebagai sebuah pernyataan yang tidak berdasar.
Akibat kecurigaan yang dialamatkan pada Huawei, membuat perusahaan tersebut gagal melakukan kesepakatan kerjasama dengan AT&T, operator dan retail telekomunikasi di AS, untuk pemasaran berbagai produk teknologi lansirannya.
Dalam sebuah pernyataan resmi pada Rabu, 14 Februari 2018, Huawei mengaku memilih memantau perkembangan pembahasan kasus terkait di Kongres, namun menolak berkomentar langsung terhadap isu terkait.
Simak video tentang upaya mantan CIA memblokir Presiden Donald Trump dari Twitter berikut:
Upaya Proteksi Lanjutan
Saat ini, Huawei tengah menikmati posisi kuat sebagai pemimpin di persaingan produk teknologi di beberapa pasar di luar AS. Bahkan di beberapa tempat, ponsel pintar lansiran Huawei disebut berhasl mengalahkan dominasi Apple, seperti di Eropa Timur dan Eropa Tengah.
Huawei menyebut kegiatan operasionalnya telah dilakukan di hampir 170 negara, di mana sebagian besar mendapatkan kepercayaan dari konsumen pemerintah dan publik.
"Kami tidak menimbukan risiko keamanan siber lebih besar dari vendor lain, dan kami tidak main-main tentang ini," tegas Huawei dalam sebuah pernyataan resmi.
Sementara itu, di tempat terpisah, ZTE mengeluarkan pernyataan resmi yang menyebut seluruh ponsel dan peralatan teknologi, termasuk chipset dan beberapa komponen lainnya, diproduksi langsung di AS.
"Sebagai perusahaan publik terbuka, kami berkomitmen mematuhi semua aturan hukum dan regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah Amerika Serikat, termasuk memastikan seluruh pengerjaan produksi kami melewati pengawasan ketat untuk mencapai standar bisnis tertinggi," tulis ZTE dalam pernyataan terkait.
Senator Arkansas dari Partai Republik, Tom Cotton, mengusulkan sebuah Rancangan Undang-Undang Terbaru (RUU) pada minggu lalu, di mana berisi larangan bagi seluruh lembaga pemerintah AS untuk menjalin kontrak kerja sama dengan perusahaan-perusahaan tertentu, termasuk di dalamnya Huawei dan ZTE.
Menurut Cotton, RUU itu akan meneruskan kebijakan amandemen UU Komunikasi Pemerintah yang telah dibahas sejak awal 2018 lalu.
Pada 2013, Kongres AS mengeluarkan sebuah undang-undang yang mencegah para lembaga federal untuk membeli teknologi dari perusahaan asing tanpa persetujuan pemerintah AS.
Ini merupakan upaya proteksi lanjutan pemerintah AS terhadap produk-produk teknologi asing, yang disebutnya berisiko mengancam keamanan data informasi publik.
Kaspersky Lab, sebuah merek perangkat lunak asal Rusia, telah dilarang beredar di AS karena tuduhan penyusupan oleh kepentingan asing.
Advertisement