Liputan6.com, Jakarta M menangis dan bersujud minta ampun saat warga menggerebek rumah kontrakannya di Kawasan Cikupa, Tangerang, Jumat malam 10 November 2017 sekitar pukul 22.00 WIB. Namun, kerumunan orang itu justru mengarak gadis 20 tahun itu bersama sang kekasih, R (28) ke rumah Ketua RW yang jauhnya sekitar 200 meter.
Sepanjang jalan, pasangan itu dipaksa mengaku berbuat mesum. R dan M jadi sasaran penganiayaan. Puncaknya terjadi di depan sebuah toko yang tutup.
Advertisement
Awalnya hanya R yang ditelanjangi. Lalu, tiga pria, salah satunya bertopi merah, membuka paksa pakaian gadis M hingga nyaris bugil. Tangis, teriakan, dan permohonan ampun keduanya ditelan riuhnya sorak-sorai warga yang menonton.
M dan R adalah korban aksi main hakim sendiri. Kapolresta Tangerang AKBP Sabilul Alif menegaskan, pasangan tersebut tak berbuat asusila saat digerebek warga.
Enam tersangka telah ditetapkan. Mereka adalah ketua RT, ketua RW, dan seorang warga yang lebih dulu ditetapkan sebagai tersangka. Tiga orang lagi adalah I, S dan N.
"Sangat mungkin jumlah tersangka akan bertambah. Dari keterangan saksi, ada warga yang diketahui ikut meraba-raba korban," ujar Sabilul kepada Liputan6.com, Rabu (15/11/2017) malam.
Sementara itu, Kasat Reskrim Polresta Tangerang, Kompol Win Setiawan menyatakan, pihaknya telah memeriksa lima saksi untuk mendalami kasus ini. Mereka adalah warga setempat, terutama yang terlihat ikut mengarak korban, seperti yang terekam dalam video yang sempat viral beberapa hari lalu.
"Untuk saksi ada lima orang yang sudah diperiksa, sementara dua orang saksi adalah korban," tutur Kasat Reskrim Polresta Tangerang, Kompol Win Setiawan.
Apa yang terjadi di Tangerang bukan kali pertamanya kasus main hakim sendiri terjadi di Indonesia. Apa yang membuat warga gelap mata?
Agar kasus main hakim sendiri tak kembali terulang, Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Mabes Polri, Brigjen Rikwanto, meminta masyarakat cerdas dan bijaksana saat mendapat informasi yang belum jelas kebenarannya.
"Cek dulu. Jangan sampai gara-gara seseorang mengatakan sesuatu yang belum tentu benar, dia terpengaruh dan melakukan penghakiman massa," ujar Rikwanto kepada Liputan6.com, Rabu (15/11/2017).
Dia meminta masyarakat tak mudah terbakar emosi dan terpengaruh situasi sehingga tak menghiraukan fakta.
"Harus mau bertanya dan menyelidiki. Jangan sampai ketemu sesuatu atau seseorang, dia ikut memukuli juga dengan asumsi dia maling atau pelakunya. Salah itu. Kalau itu terjadi berarti dia melanggar hukum dan bisa diproses," ujar dia.
Terkait kasus pasangan kekasih M dan R yang diarak di Cikupa, Tangerang, Rikwanto menyatakan hal tersebut masuk kategori persekusi, penganiayaan, dan penistaan.
"Mereka yang melakukan itu akan diminta pertanggungjawaban. Baik yang memvideokan maupun yang melanggar hukum di situ," ujar dia.
Polisi saat ini tengah mendalami kasus ini. Wajah-wajah yang ada di video, kata Rikwanto, bisa dikenali dan sedang diidentifikasi.
"Mudah-mudahan polisi bisa segera memverifikasi dan menindak hukum mereka. Tindakan mereka jelas merugikan pihak lain," kata dia.
Tak Manusiawi
Warsiah, tetangga kontrakan M, menyaksikan apa yang terjadi malam itu. Ia berusaha melerai, meneriaki warga agar tak main hakim sendiri. Namun, upayanya digagalkan massa yang marah.
"Saya teriak-teriak sambil nangis. Kasihan dia sampai sujud gitu minta ampun. Tapi karena pada marah, enggak didengar," tutur dia.
Warsiah juga menyaksikan pasangan itu masih berpakaian saat digrebek di kontrakan. Saat warga menelanjangi M dan R, ia kembali berteriak berharap warga menghentikan aksinya. "Kasihan, jangan kasar begitu. Heh!" kata Warsiah mengulang ucapannya saat itu.
Tokoh masyarakat sekaligus rohaniawan Romo Benny Susetyo menyatakan, aksi main hakim sendiri seperti yang terjadi di Tangerang, sangat mencederai nilai-nilai kemanusiaan.
"Itu menghina martabat manusia, menodai Pancasila. Jika kita mencintai Pancasila, tidak akan melakukan seperti itu," ujar Romo Benny kepada Liputan6.com, Rabu (15/11/2017) malam.
Menurut dia, masyarakat akhir-akhir ini mudah terpengaruh hasutan dan provokasi. Tanpa bukti dan fakta, mereka mudah dibawa ke perbuatan yang tak berperikemanusian.
"Ini kan provokasi. Massa tanpa sadar akan ikut. Pelakunya harus ditindak dan aparat tidak boleh kompromi," tegas Romo Benny.
Dia menambahkan, butuh ketegasan aparat untuk mengatasi masalah ini. Dia khawatir jika kejadian di Tangerang dibiarkan, akan membuat perilaku kekerasan seakan-akan mendapat legitimasi dari negara.
"Negara harus melindungi hak-hak setiap warga. Jangan sampai kekerasan jadi perilaku yang dianggap wajar. Kalau negara lemah, ini akan menjadi virus. Tindak tegas semua pelaku," jelas Romo Benny.
Secara terpisah, Ketua PBNU Marsudi Syuhud menyatakan, aksi main hakim sendiri bukan budaya bangsa Indonesia. Dia meminta masyakarat untuk mengembalikan ke hukum yang berlaku jika menemukan kasus dugaan pelanggaran.
"Memang benar hukum bisa berjalan jika ada yang mengawal, salah satunya masyarakat. Namun, cara mengawasinya jangan terjebak emosi dan ujungnya ikut melanggar hukum," ujar Marsudi kepada Liputan6.com,
Mantan Sekjen PBNU 2010-2015 itu mengapresiasi masyarakat yang sudah sadar hukum.
"Bahwa amar ma’ruf bil ma’ruf, nahi mungkar ma’ruf juga. Tentu caranya bisa sesuai dengan kondisi setempat, misalnya dekat dengan tokoh setempat dengan polisi," ucap Marsudi.
Advertisement
Kasus yang Terulang
Kasus main hakim sendiri terhadap dua sejoli R (28) dan M (20) di Cikupa Tangerang, menambah panjang deretan kasus main hakim sendiri. Masih segar dalam ingatan, M Alzahra (30) alias Joya, meregang nyawa usai diamuk dan dibakar massa di Babelan, Bekasi, Selasa, 1 Agustus 2017 lalu.
Cerita bermula saat Joya usai salat Asar di Musala Al-Hidayah, Pondok Cabang Empat, Babelan, Bekasi. Tak lama setelah keluar dan meninggalkan musala, Rojali (41), warga yang tinggal di depan musala mencurigai gerak-gerik Joya.
Langkah Joya masuk musala tanpa permisi dan tidak menutup rapat pintu usai salat Asar mengundang kecurigaan Rojali.
Selang beberapa saat, abang ipar Rojali, Zainul mendatangi Rojali. Zainul menanyakan amplifier musala yang tidak ada di tempat biasa. Padahal, dia tengah membutuhkan amplifier itu untuk peringatan haul orangtuanya.
Mengetahui amplifier hilang, Rojali langsung mengambil motornya dan mengejar Joya. Waktu itu, Joya baru sekitar 10 menit meninggalkan musala.
Rojali pun memanggil sejumlah pemuda yang kebetulan lewat untuk membantu mencari Joya. Akhirnya dia melihat Joya di dekat jembatan Pasar Muara yang berjarak 4 kilometer dari musala.
Seorang saksi mata menyebut, ada tiga pria yang meneriaki Joya dengan kata maling. Joya yang panik memilih melompat ke sungai di bawah jembatan.
Tapi Joya tak bisa berbuat banyak. Kondisi sungai yang berlumpur dan penuh sampah membuat pelarian dia tersendat. Di pinggir sungai pun telah banyak orang yang siap menangkap tukang reparasi amplifier itu.
Bapak satu anak itu kemudian ditarik massa ke arah Pasar Muara. Di depan deretan ruko, Joya meregang nyawa secara mengenaskan. Dia dianiaya dan dibakar hidup-hidup.
Kriminolog Universitas Indonesia (UI) Arthur Josias Simon mengakan, persekusi oleh warga dipicu oleh tersebarnya informasi tidak benar yang kemudian memicu reaksi kurang baik.
“Itu bentuk reaksi sosial komunitas tertentu. Dalam kasus ini sebagai bentuk penghukuman terhadap pelanggar norma masyarakat. Sayangnya, dipicu oleh oknum yang kurang informasi atau memberikan kabar kurang benar,” kata Arthur ketika dihubungi Liputan6.com, Rabu (15/11/2017).
Perilaku tersebut biasanya diawali oleh oknum yang melakukan provokasi. Provokasi tersebut membuat warga melakukan tindakan kolektif. Dalam kasus persekusi di Tangerang, tindakan kolektif warga berupa kekerasan.
"Collective behaviour terjadi. Ada step by step. Misalkan memberi contoh, provokasi. Yang kemudian berujung pada kekerasan kolektif,” ujar Arthur.
Penyebabnya bermacam-macam, Arthur mencontohkan bahwa dalam kasus lain, tindakan tersebut banyak dipicu oleh emosi.
"Biasanya emosional. Misal maling tertangkap, orang-orang emosi. Nah, tinggal emosi ini bisa dikendalikan atau tidak," ungkap Arthur.
Arthur menyayangkan tokoh masyarakat seperti ketua RT dan ketua RW malah turut melakukan penghakiman sepihak. Padahal, kehadiran tokoh masyarakat dapat menjadi pencegah peristiwa tersebut terjadi.
"Harusnya tokoh masyarakat berperan di sini. Tapi dalam kasus ini malah sebaliknya. Ini perlu diteliti lebih lanjut," jelas Arthur.
Untuk mencegah kejadian serupa terulang, Arthur menjelaskan beberapa hal yang dapat dilakukan masyarakat.
"Pastikan bahwa informasi atau data itu akurat. Sehingga tidak salah duga," ujarnya.
Selain itu, harus ada tokoh masyarakat dan penegak hukum yang berperan. Serta ada pemahaman hukum yang positif.
"Jaga perilaku berlandaskan aturan hukum yang berlaku. Jangan main hakim sendiri," papar Arthur. (Andri Setiawan)