Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode Muhammad Syarief menyebut, pihaknya telah melakukan kajian dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) terkait uang yang harus dikeluarkan oleh calon kepala daerah.
Dalam kajian tersebut, KPK mendapati mahalnya ongkos untuk menjadi seorang kepala daerah. Terang saja banyak kepala daerah yang menghalalkan segala cara untuk kembali maju dalam Pilkada 2018.
Advertisement
"Kita melihat bahwa ongkos untuk menjadi kepala daerah itu besar," ujar Syarief saat dikonfirmasi, Jumat (16/2/2018).
Syarif membeberkan besaran ongkos minimal yang harus dikeluarkan untuk menjadi kepala daerah. Minimal Rp 60 miliar untuk menjadi Bupati, minimal Rp 100 miliar untuk menjadi Gubernur.
"Nah jadi ongkosnya memang mahal," kata dia.
Syarif mengatakan, pihaknya akan ikut mengawasi jalannya Pilkada 2018 dan siap menjerat mereka yang mencoba bermain curang.
"Oleh karena itu, untuk memperbaiki, untuk menghilangkan apa yang disebut money politic itu penting sekali agar kita mempunyai pimpinan daerah yang berkapabilitas dan integritas yang baik," terang dia.
Awasi Rekening
Sementara itu, Pusat Pelaporan Analisa dan Transaksi Keuangan (PPATK) akan aktif memantau rekening pasangan calon yang berkontestasi di Pilkada Serentak 2018. Hal ini dilakukan guna menciptakan Pilkada yang bersih dari korupsi.
"PPATK akan memantau secara pro aktif rekening pasangan calon (Paslon)," kata Kepala PPATK, Kiagus Ahmad Badarudin di Kantornya, Jl. Ir Haji Juanda, Jakarta Pusat, Selasa 13 Februari 2018.
Tidak hanya paslon, PPATK juga mengawasi rekening khusus dana kampaye, laporan rekening partai politik pengusung, serta tim sukses. Selain itu, PPATK sangat terbuka apabila ada laporan dari penyedia jasa keuangan, penyedia barang dan jasa, untuk ikut mendeteksi adanya transaksi tidak wajar.
"PPATK memerlukan langkah-langkah dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dalam penghimpunan, penggunaan dan atau pelaporan dana kampanye peserta pemilihan umum, guna Pemilu bersih, transparan dan berintegritas," jelas Kiagus.
Terdapat 17 provinsi, 115 kabupaten, serta 39 kota yang mengikuti Pilkada Serentak 2018. Hal ini juga memungkinkan terjadinya kerawanan yang dipicu politik uang yang merusak iklim demokrasi.
"Tingginya biaya politik dalam Pilkada dan Pemilu menimbulkan tingginya risiko terjadinya politik uang," kata Kiagus
Adapun kemungkinan terjadinya politik uang dalam tahapan Pilkada dan Pemilu adalah pada saat pendaftaran calon, kampanye, pemungutan suara, dan penghitungan suara.
"Sehingga membutuhkan perhatian khusus dari pemerintah," jelas Kiagus.
Advertisement