Liputan6.com, Jakarta - Laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dapat menguat selama sepekan usai alami koreksi tajam pada pekan lalu. Saham berkapitalisasi besar topang penguatan IHSG.
Mengutip laman PT Ashmore Assets Management Indonesia, Sabtu (16/2/2018), IHSG naik 1,32 persen pada periode 10 Februari-15 Februari dari posisi 6.505,52 menjadi 6.591,58.
Pada pekan lalu, IHSG susut 1,86 persen.Saham-saham kapitalisasi besar yang masuk indeks saham LQ45 naik 1,03 persen mendorong penguatan IHSG sepekan. Ditambah saham kapitalisasi kecil menguat 3,56 persen. IHSG meski menguat, investor asing masih melakukan aksi jual di pasar saham Indonesia. Total aksi jual investor asing US$ 116 juta.
Baca Juga
Advertisement
Sementara itu, indeks obligasi atau surat utang BINDO melemah 0,15 persen selama sepekan. Imbal hasil surat utang pemerintah bertenor 10 tahun mendatar 6,4 persen. Nilai tukar rupiah pun menguat di posisi 13.560 per dolar Amerika Serikat (AS). Di pasar obligasi pun terjadi aksi jual US$ 818 juta.
Vice President Sales and Marketing Distribution, PT Ashmore Assets Management Indonesia, Lydia Toisuta mengatakan, ada sejumlah faktor pengaruhi IHSG selama sepekan.
Pertama, Bank Indonesia (BI) mempertahankan suku bunga acuan di posisi 4,25 persen. Hal ini seiring dengan harapan pasar. Pejabat BI tetap mempertahankan kebijakan untuk menjaga ekonomi makro dan kestabilan sektor keuangan. Selain itu, mendukung pemulihan ekonomi domestik.
Kedua, penerimaan pajak Indonesia juga menjadi sorotan. Penerimaan pajak di luar pajak internasional tercatat Rp 78,5 triliun pada Januari 2018. Angka ini 5,5 persen dari target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 sebesar Rp 1.424 triliun. Penerimaan pajak yang tinggi pada Januari 2018 didukung momentum pertumbuhan ekonomi.
Ketiga, neraca perdagangan Indonesia yang tercatat masih defisit. Pada Januari 2018, Indonesia alami defisit US$ 670 juta. Angka ini memang tidak biasa bila melihat kondisi dalam tiga tahun terakhir. Biasanya pada Januari tercatat surplus perdagangan. Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan impor naik 26,4 persen menjadi US$ 15,13 miliar dan ekspor tumbuh 7,86 persen menjadi US$ 14,46 miliar.
Dari faktor eksternal pengaruhi pasar keuangan, Lydia menyebutkan antara lain data ekonomi Amerika Serikat (AS) yaitu inflasi dan ritel. Indeks Harga Konsumen AS naik 2,1 persen pada Januari 2018. Angka ini lebuh tinggi dari harapan di kisaran 1,9 persen. Kenaikan tersebut didorong dari harga makanan dan energi menguat 1,8 persen.
Selain itu, indeks energi menguat 5,5 persen dan indeks harga makanan bertambah 1,7 persen. Inflasi tercatat menjadi 2,9 persen, dan merupakan tertinggi dalam empat tahun.Sementara itu, perdagangan ritel AS tak terduga susut 0,3 persen pada Januari 2018 usai tidak ada pertumbuhan pada Desember. Selain itu di bawah harapan pasar 0,2 persen.
Angka itu merupakan penurunan terbesar sejak Februari 2017.Lydia menambahkan, pembatasan utang AS juga menarik perhatian investor. Utang AS naik US$ 175 miliar. Pemerintahan AS di bawah pimpinan Presiden AS Donald Trump mendapatkan izin untuk berutang.
"Ekonomi Jepang juga menarik perhatian. Ekonomi Jepang naik 0,1 persen pada kuartal terakhir 2017. Pada periode sebelumnya tumbuh 0,6 persen dan berdasarkan konsensus tumbuh 0,2 persen. Melambatnya bisnis dapat diimbangi dengan kenaikan konsumsi swasta," ujar Lydia.
Di tengah penguatan IHSG, rata-rata transaksi harian saham turun 33,53 persen menjadi Rp 6,3 triliun dari periode pekan lalu Rp 9,5 triliun. Volume perdagangan saham sekitar 10,37 miliar saham.
Total frekuensi perdagangan saham melemah 19,57 persen menjadi 301.335 pada pekan ini dari periode pekan lalu 374.677. Kapitalisasi pasar saham tercatat Rp 7.332,41 triliun.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Selanjutnya
Lalu apa yang dicermati ke depan?Bursa saham Indonesia hanya melemah tipis meski imbal hasil surat berharga naik menjadi 2,9 persen. Angka itu merupakan level tertinggi dalam empat tahun. Sementara itu, indeks mengukur kecemasan investor juga menunjukkan kalau laporan inflasi memicu volatilitas lain Lydia mengatakan, hal itu tidak terlalu berdampak ke pasar saham Indonesia dan emergi market.
Ini menunjukkan investor mengadaptasi dan melihat fundamental di pasar.Kemudian apa yang akan dilakukan the Federal Reserve?Lydia mengatakan, the Federal Reserve dalam berada posisi yang sulit karena sinyal inflasi yang meningkat. Hal itu juga didorong kebutuhan bertambah.
Akan tetapi, kenaikan suku bunga the Federal Reserve dapat menelan biaya karena berdampak ke pasar saham dan ekonomi. Apalagi utang mencapai 526 persen dari produk domestik bruto (PDB).
"Kami percaya the Federal Reserve akhirnya memilih untuk menjaga kestabilan pasar saham, ekonomi riil. Tingginya harga konsumen berlanjut juga masih timbulkan pertanyaan," kata dia.
Melihat kondisi itu, apa yang perlu dilakukan oleh investor? Lydia menuturkan, memang ada kenaikan volatilitas. Namun lonjakan indeks kecemasan investor disebabkan pasar di negara maju bukan negara berkembang. Investor beradaptasi dengan kinerja keuangan perusahaan, ekonomi dan imbal hasil surat berharga AS.
"Kami yakin the Federal Reserve tetap mempertahankan pendirian lama dengan pertahankan suku bunga.
Advertisement