Liputan6.com, Semarang Imlek dan hujan. Ada yang salah dalam memahami turunnya hujan saat Imlek. Selama ini, masyarakat pada umumnya mempercayai bahwa hujan identik dengan datangnya rejeki. Dari pemahaman itu kemudian muncul pemahaman bahwa saat imlek, semakin lebat hujan semakin banyak rejeki.
Pelaku dan peminat Budaya Tionghoa, Ardian Cangianto menjelaskan bahwa perayaan Tahun Baru Imlek memang identik dengan hujan, namun pemahaman hujan lebat membawa rejeki lebat adalah salah. Yang benar seperti apa?
"Diawali dari rangkaian peribadatannya. Yakni diawali tanggal 24 bulan 12 sampai tanggal 15 bulan pertama. Tanggal 24 bulan 12 itu sebagai sarana pertaubatan akhir, kesempatan terakhir bertaubat seseorang," kata Ardian, Sabtu (17/2/2018).
Baca Juga
Advertisement
Kemudian pertaubatan itu dilanjutkan pada tanggal 30 bulan 12 malam. Pada malam menjelang pergantian tahun itulah sebenarnya sejarah angpao lahir, di mana saat itu Dewa Rejeki turun.
"Semua orang Tionghoa pada malam itu tidak menutup pintu rumah. Dan orang-orang fakir menulis atau menggambar Dewa Rejeki, kemudian dijual," kata Ardian.
Orang yang mendengar tawaran dari para fakir tersebut, lanjut Ardianto, wajib membeli tulisan atau gambar Dewa Rejeki tersebut dengan harapan dilapangkan rejekinya. Maka ada istilah menyebut, jual dan beli dewa rejeki, kalau bahasa sederhananya angpao.
Ini tentang Imlek dan angpao serta rejeki.
Bukan Hujan Deras Yang Diharap
Dari titik itu, kemudian muncul pula keyakinan bahwa makin lebat hujannya, semakin banyak rizkinya. Hujan dianggap sebagai tanda kemurahan Dewa Rizki.
"Ini pemahaman yang salah. Logikanya, hujan lebat pasti membawa bencana bukan rizki. Yang diharapkan justru hujan rintik-rintik atau gerimis," kata Ardian.
Karena ada penjelasan rintik-rintik hujan di malam pergantian tahun adalah sebagai embun surga. Namanya saja embun, tidak mungkin akan jatuh dengan deras.
Bagaimana dengan Imlek japan now ?
Menurut Ardianto saat ini Imlek sudah sangat komersial. Sudah dikapitalisasi. Kondisi ini akan membuat waga Tionghoa gagal memahami perayaan Imlek. Salah satu buktinya pemahaman tentang simbol hujan dan rejeki.
"Orang Tionghoa menganggap bahwa Imlek hanya untuk kumpul keluarga dan bagi orang lain Imlek hanya sebagai proyek bagi-bagi angpao," kata Ardianto.
Menurut Ardianto, Imlek sesungguhnya harus dimaknai sebagai momentum dimana ada ruang dan waktu untuk introspeksi diri. Untuk lebih meningkatkan hubungan horizontal.
"Imlek sejatinya adalah untuk merekatkan tali keluarga dan manusia. Jalan untuk itulah yang harus diresapi, direnungi, dan dijalani, " kata Ardianto.
Advertisement
Kumpul-kumpul
Djohan, salah satu warga Pecinan Semarang mengatakan perayaan Imlek selalu dijadikan saran berkumpul keluarga dan berbagi dengan sesama. Ketika Imlek ia merasa sangat bahagia karena bisa mengumpulkan semua saudara dan anggota keluarga besar.
"Hari ini saya kumpul bersama keluarga besar ayah. Kebetulan ayah memiliki 11 saudara, hari ini kami makan bersama," kata Djohan.
Selain itu dirinya juga mengaku membagikan angpao pada sesama, terutama karyawan di Klenteng Tek Hay Bio. Tidak ada kesepakatan khusus anggota keluarga akan bersembahyang dan berbagi angpao di kelenteng mana.
Djohan menjelaskan tradisi berkumpul dengan keluarga besar ini sudah dikenalkan kepada anak-anak dan cucu yang masih kecil. Berbagai cerita dan mitos tentang Imlek disampaikan dengan gaya sastra lisan.
"Tentu berharap agar generasi selanjutnya memahami cerita-cerita dan mitos tentang Imlek. Tak jarang kami berdiskusi untuk mencari pesan sesungguhnya dari sebuah cerita," kata Djohan.
Acara makan bersama, selalu digelar di rumah. Namun karena banyaknya anggota keluarga, tak jarang mereka juga memesan tempat khusus di sebuah rumah makan.
Kekayaan Multikultural
Sementara itu, perayaan Imlek di Klenteng Tay Kak Sie, Jumat (16/2/2018) didominasi warna keberagaman dan toleransi. Ketua Yayasan Tay Kak Sie Tanto Hermawan mengatakan perayaan Tahun Baru Imlek di situ memang terbuka untuk untuk umum.
"Kami welcome terhadap siapapun. Karena memang perayaan ini bukan hanya milik kami. Sekarang Imlek sudah menjadi milik masyarakat. Kami menggelar pertunjukkan juga untuk masyarakat," kata Tanto.
Rata-rata pengunjung kelenteng Tay Kak Sie juga menikmati keindahan ornamen klenteng yang usianya lebih dari 200 tahun tersebut. Pengunjung biasa dan pengunjung yang beribadat, semua jalan sendiri-sendiri dan tak saling mengganggu.
"Kami mempersilakan. Dengan catatan tidak mengganggu peribadatan," kata Tanto.
Kelenteng Tay Kak Sie memiliki pengunjung yang meningkat ratusan kali lipat saat Imlek. Bukan hanya warga yang hendak beribadat saja, namun warga non Tionghoa juga banyak berkunjung.
"Boleh saja. Mulai sekedar foto-foto, lihat-lihat. Yang penting tak mengganggu," kata Tanto.
Dewi, salah satu pengunjung mengaku kagum dengan kemampuan menjaga tradisi Tionghoa. Meskipun selama puluhan tahun tradisi itu pernah ditekan dan saat ini juga mulai muncul kelompok intoleran.
"Salah satu yang sukses dijaga adalah bangunan kelenteng yang usianya ratusan tahun ini," kata Dewi sambil membetulkan hijabnya.
Saksikan video pilihan berikut:
Advertisement