5 Klub yang Bernasib Tragis Usai Menjuarai Liga Inggris

Ada lima tim lainnya yang bernasib lebih buruk usai juara di Liga Inggris.

oleh Liputan6.com diperbarui 18 Feb 2018, 08:20 WIB
Paul Pogba bertugas sebagai kapten Manchester United (MU) saat ditahan Leicester City 2-2 di King Power Stadium, Minggu (24/12/2017) dinihari WIB. (Roland HARRISON / AFP)

Liputan6.com, Jakarta Menjadi juara di Liga Inggris boleh dikatakan salah satu hal paling sulit di dunia. Namun justru mempertahankan menjadi hal yang lebih daripada itu karena beberapa tim justru tercelat meski musim sebelumnya sukses rengkuh trofi.

Ada beberapa alasan di balik keterpurukan tim juara di Liga Inggris. Mulai dari saingan yang terlihat lebih kuat setelah aktivitasnya di bursa transfer, hingga euforia juara yang belum hilang dari para pemain tim tersebut.

Juara musim lalu, Chelsea, tak terlalu buruk dalam usaha mempertahankan gelarnya. Mereka saat ini ada di urutan keempat dan membuat peluang bagus untuk lolos ke Liga Champions musim depan,

Namun demikian tetap saja mereka nyaris dipastikan tak akan bisa mempertahankan gelarnya. Chelsea musim ini masih bagus, ada lima tim lainnya yang bernasib lebih buruk usai juara di Liga Inggris.

Mereka terpuruk bahkan, finis di empat besar saja tidak. Siapa saja? Berikut daftarnya dikutip Sportskeeda:


Manchester United (2013/14)

Pemain Manchester United, Jesse Lingard (tengah) merayakan gol bersama rekannya saat melawan Everton pada lanjutan Premier League di Goodison Park, Liverpool, (1/1/2018). MU menang 2-0. (AFP/Paul Ellis)

Manchester United terakhir merebut gelar liga musim 2012/13, mengalahkan Manchester City dengan selisih 11 poin. Tapi ada dua hal menonjol di tahun itu. Pertama adalah musim terakhir bagi bos legendaris Sir Alex Ferguson, yang pensiun pada musim panas 2013. Kemudian, mereka memiliki striker hebat Robin Van Persie, yang mencetak 26 gol liga.

Musim berikutnya tidak berjalan dengan baik. Manajer Everton David Moyes ditunjuk sebagai bos United yang baru. Namun di samping itu, bos MU, Ed Woodward, memiliki jendela transfer musim panas yang tak bersemangat.

Saat saingannya memperkuat diri, Moyes hanya bisa mengontrak Marouane Fellaini. Kemenangan 4-1 atas Swansea membuka musim tapi tanpa Ferguson.

Pada akhir periode Natal, MU duduk di posisi ketujuh dan Moyes akhirnya dipecat pada bulan April saat dipastikan mereka tidak dapat lolos ke Liga Champions. Van Persie mencetak 12 gol kala itu, kurang dari setengah jumlah golnya di musim sebelumnya. Pada akhirnya, United kehilangan 12 pertandingan liga dan finis di posisi ketujuh.


Leeds United (1992/93)

Pemain Watford merayakan gol ke gawang Leeds United pada putaran kelima Piala FA di Stadion Vicarage Road, London, (20/2/2016). (AFP/Olly Greenwood)

Leeds United adalah juara mengejutkan pada tahun 1991/92, atau musim terakhir Divisi satu sebelum peresmian Liga Primer pada 1992/93. Mereka berhasil menyingkirkan Manchester United berkat pemain seperti Gordon Strachan, Lee Chapman, Gary McAllister dan Eric Cantona. Tapi musim selanjutnya, semuanya berubah secara dramatis.

Pada musim pembukaan Liga Inggris yang baru, Leeds pada dasarnya mengerikan. Mereka tidak menang dalam pertandingan tandang sepanjang musim, termasuk takluk 1-4 dari Nottingham Forest. Mereka harus berjuang melawan degradasi, yang pada akhirnya finis ke-17, hanya berjarak dua poin dari zona merah.

Penjualan Eric Cantona ke Manchester United dianggap jadi salah satu faktor. Sebab setelah cabut, Cantona lantas memenangkan liga bersama Red Devils.


Blackburn Rovers (1995/96)

7. Blackburn Rovers, tiga kali posisi empat besar. (AFP/Steve Parkin)

Ketika Blackburn Rovers memenangi gelar Liga pada 1994/95, itu hampir merupakan awal tahun, yang kemudian uang jadi faktor utama. Uang pengusaha lokal Jack Walker, digunakan untuk datangkan Chris Sutton untuk rekor Inggris 5 juta pounds.

Sutton membentuk kerja sama mematikan dengan Alan Shearer. Duo tersebut mencetak 49 gol di antara mereka, dan Blackburn membalut gelar juara. Blackburn tidak kehilangan pemain kunci di musim panas berikutnya, tapi mereka memang melihat perubahan besar di puncak.

Manajer Kenny Dalglish pindah ke peran Direktur Olahraga, sementara mantan asistennya Ray Harford mengendalikan tim tersebut. Keputusan itu terbukti menjadi bencana.

Kemenangan hari pembukaan diikuti oleh empat kalah dan imbang dalam lima pertandingan berikutnya, membuat Blackburn mulai hancur. Pada awal Desember, takluk dari Coventry City memberi mereka delapan kekalahan, satu angka lebih banyak dari yang mereka dapatkan pada keseluruhan musim sebelumnya

Shearer masih mencetak gol dengan mencapai 37 gol di liga. Tapi Sutton tidak, hanya mencetak satu gol. Meski hanya kebobolan delapan gol lebih banyak daripada di tahun 1994/95, hasilnya tidak berjalan sesuai keinginan mereka.

Akhir musim Blackburn sebetulnya meraih empat kemenangan dalam lima pertandingan terakhir. Tapi mereka hanya bisa finis di urutan ketujuh dalam pertahanan gelar yang benar-benar suram.


Leicester City (2016/17)

Aksi pemain Fleetwood Town, Jordy Hiwula (kiri) berusaha melewati dua pemain Leicester City pada babak ketiga Piala FA di King Power Stadium, Leicester, (16/1/2018). Leicester City menang 2-0. (AFP/Paul Ellis)

Keberhasilan Leicester City pada 2015/16 mungkin merupakan kemenangan mengejutkan terbesar dalam sejarah sepak bola Inggris. Namun, memang tak ada yang benar-benar mengharapkan mereka untuk menantang gelar lagi di musim berikutnya.

Leicester City berhasil menahan sebagian besar pemain kunci, seperti Jamie Vardy, Riyad Mahrez, Kasper Schmeichel dan Danny Drinkwater, dengan hanya N'Golo Kante yang pindah ke Chelsea. Jelas banyak yang berharap, setidaknya mereka merusak tatanan tim big six Liga Inggris.

Namun, The Foxes jalani awal yang buruk, kalah dari Hull City yang baru dipromosikan pada hari pembukaan musim ini. Kedatangan Islam Slimani dan Ahmed Musa nyaris tidak berdampak baik. Menjelang musim gugur, jelaslah bahwa keadaan tidak membaik, dan ketika memasuki Tahun Baru, mereka alami lima kekalahan beruntun.

Bos yang mengatarkan gelar, Claudio Ranieri dipecat pada bulan Februari. Craig Shakespeare yang ditunjuk berhasil membalikkan keadaan dengan memimpin tim raih lima kemenangan beruntun mencegah ancaman degradasi. Pada akhirnya meski Leicester kehilangan 18 pertandingan, mereka finis di posisi 12, terendah dari juara bertahan Liga Inggris manapun.


Chelsea (2015/16)

Para pemain Chelsea merayakan gol Victor Moses (2kiri) saat melawan West Bromwich Albion pada lanjutan Premier League di Stamford Bridge stadium, London, (12/2/2018). Chelsea menang 3-0. (AFP/Ben Stansall)

Setelah musim tanpa gelar 2013/14, beberapa orang merasa bahwa kembalinya Jose Mourinho ke Chelsea adalah sebuah kesalahan. Bos asal Portugal tersebut membuktikan diri dengan bungkam pengkritik saat memimpin The Blues meraih gelar juara Liga Inggris yang ketiga sebagai manajer Chelsea.

Chelsea hanya kalah tiga kali musim itu, dan sepertinya Mourinho membawa masa-masa baik kembali ke klub seperti yang dilakukan satu dekade sebelumnya. Sayangnya bagi fans Chelsea, bukan itu yang terjadi.

Mereka bermain imbang 2-2 dengan Swansea pada hari pembukaan setelah kiper Thibault Courtois diusir dari lapangan. Namun insiden mengkritik dokter klub Eva Carneiro karena mencoba mengobati Eden Hazard yang cedera memicu reaksi negatif yang pada dasarnya merusak musim Chelsea.

Mourinho tampaknya telah kehilangan respek di ruang ganti. Pemain kunci terdiam, dan pada bulan Desember Chelsea duduk di tempat ke-14 yang menghebohkan. Setelah kehilangan sembilan pertandingan, Mourinho dipecat pada tanggal 17 Desember dan diganti dengan mantan bos sementara Guus Hiddink.

Dia mengawasi sebuah rekor tak terkalahkan sampai 9 April, namun dengan delapan seri dalam 15 pertandingan tersebut. Tapi itu tidak cukup untuk benar-benar menyelamatkan musim Chelsea dan juara bertahan itu berakhir di posisi 10.(Eka Setiawan)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya