Agresif Bangun Infrastruktur, Kenapa Ekonomi RI Cuma Tumbuh 5 Persen?

Pengamat Ekonomi dari Indef, Eko Listianto menyebut pembangunan infrastruktur selama tiga tahun terakhir belum terasa dampaknya.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 19 Feb 2018, 15:30 WIB
Presiden Joko Widodo beserta pejabat terkait berbincang saat meninjau kemajuan pembangunan Kereta Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, (14/12). (Laly Rachev/ Setpres)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Joko Widodo (Jokowi) jor-joran membangun infrastruktur dalam kurun waktu tiga tahun terakhir. Anggaran yang dihabiskan pun hampir Rp 1.000 triliun.

Sayangnya, ambisi pemerintah dalam mewujudkan Nawa Cita tersebut dianggap belum membawa dampak signifikan terhadap ekonomi Indonesia. Sebut saja ke pertumbuhan ekonomi.

Pengamat Ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listianto mengakui bahwa pembangunan infrastruktur telah mengangkat capaian indeks daya saing infrastruktur dan daya saing global Indonesia.

"Indeks daya saing naik, artinya memang ada pembangunannya. Tapi dampak ekonominya saya lihat sejauh ini belum banyak terbukti," kata dia saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Senin (19/2/2018).

Eko menjelaskan, meski gencar membangun infrastruktur jalan, jembatan, pelabuhan, bandara, bendungan, sampai rumah bagi masyarakat miskin, dampaknya ke pertumbuhan ekonomi belum signifikan.

"Alasan tidak tercapai target karena impact infrastruktur biasanya jangka menengah panjang. Tapi kita tidak hanya berharap dari evaluasi itu, kalau harus menunggu jangka menengah panjang, tapi ternyata tidak terealisasi, bagaimana," ujarnya.

Dalam tiga tahun (2015-2017), pertumbuhan ekonomi Indonesia di era pemerintahan Jokowi selalu meleset dari target. Pada 2015, ekonomi nasional dipatok tumbuh 5,8 persen. Selanjutnya target tumbuh 5,1 persen di 2016, dan sebesar 5,2 persen pada 2017.

Akan tetapi, faktanya lebih rendah dari target. Realisasinya ekonomi Indonesia hanya tumbuh 4,88 persen di 2015, dan 5,02 persen di 2016, serta 5,07 persen pada 2017.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Banjir Barang Impor

Suasana bongkar muat di Jakarta International Contener Terminal (JICT),Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (16/11). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor Oktober mencapai US$ 15,09 miliar. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Pemikiran Eko lainnya, saat pemerintah menggenjot pembangunan infrastruktur, menekan dwelling time, Indonesia justru dibanjiri barang-barang impor.

"Konsumsi online meningkat pesat karena infrastruktur dibangun, dwelling time membaik. Tapi kemudian barang yang dijual impor, yang menikmati negara lain, kita cuma jadi pasar sehingga ekonomi stagnan di angka 5 persen," terangnya.

Eko melihat terjadi kenaikan Nilai Tukar Petani (NTP) maupun upah buruh. Hanya saja, peningkatan ini diikuti juga oleh melambungnya harga pangan, seperti harga beras yang melonjak tinggi. 

"Jadi masih ada gap karena kan tujuan membangun infrastruktur, mendekatkan barang ke konsumen sehingga harga lebih murah, tapi ini sebaliknya," ujarnya.

Pembangunan infrastruktur, diungkapkannya, hanya dinikmati masyarakat kelompok menengah ke atas. Mereka yang memiliki mobil, sambung Eko, mendapat keuntungan dari jalan tol yang tersambung dari satu daerah ke daerah lain.

"Mobilitas dan aktivitas masyarakat kelas menengah atas yang punya mobil lebih efisien dengan jalan tol. Tapi untuk masyarakat bawah masih jauh dari harapan karena akses kebutuhan pokok masih mahal," paparnya.

Secara keseluruhan Nawa Cita Presiden Jokowi dalam pembangunan infrastruktur, diakui Eko belum sepenuhnya terealisasi. Masih banyak kendala yang dihadapi, yakni pendanaan dan pembebasan lahan.

"Proyek-proyek besar masih terkendala dana, pembebasan lahan, dan keterlibatan swasta. Ini tantangannya. Tapi kan program prioritas ini tidak bisa direm tiba-tiba, karena kalau dihentikan akan terjadi kontraproduktif," jelasnya.

Oleh karena itu, dia menyarankan kepada pemerintah Jokowi untuk tidak menambah proyek-proyek infrastruktur baru dan fokus pada yang sudah ada.

 


Diiringi Program Pemberdayaan Masyarakat

Perajin tas menyelesaikan pekerjaannya di rumah Industri, Jakarta, (11/3). Penyaluran KUR untuk UKM sudah mencapai 14 persen atau sekitar Rp14 triliun dari yang ditargetkan sebesar Rp 100 triliun untuk tahun 2016. (Liputan6.com/Gempur M Surya)

Menurut Eko, penting bagi pemerintah untuk tidak hanya sekadar terus mengejar pembangunan infrastruktur. Kemudian melupakan program pemberdayaan maupun pengembangan masyarakat.

"Pembangunan infrastruktur harus terintegrasi, harus disertai dengan pemberdayaan ekonomi di masyarakat, karena tidak cukup hanya mengejar infrastruktur," paparnya.

Eko mencontohkan, saat jalan tol terbangun di suatu daerah, Kementerian atau Lembaga terkait harus berperan serta untuk mendorong kegiatan ekonomi masyarakat di daerah tersebut. Jika tidak, katanya, bukan Indonesia yang akan menikmati pembangunan infrastruktur, tapi negara lain karena Indonesia sudah dilirik investor asing dengan peningkatan daya saingnya. 

"Ketika infrastruktur dibangun, lalu harus secara langsung bisa dimanfaatkan, menekan biaya logistik, mempercepat distribusi barangnya. Kebijakan juga harus menyentuh sumber daya manusia, mengurangi kemiskinan. Kalau ini dipikirkan akan membuat impact ekonominya semakin besar," pungkas Eko.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya