HEADLINE: Indeks Infrastruktur RI Naik, Siapa yang Paling Menikmati?

Pembangunan infrastruktur sebagai prioritas utama merupakan pilihan yang logis dan strategis untuk meningkatkan daya saing Indonesia.

oleh Arthur GideonPebrianto Eko WicaksonoSeptian DenyFiki Ariyanti diperbarui 20 Feb 2018, 00:00 WIB
Presiden Joko Widodo saat memantau pembangunan jalan tol Padang-Pekanbaru, Sumatra Barat, Jumat , (9/2). Di ruas jalan tol Padang-Pekanbaru ini juga akan dibangun terowongan terpanjang di Indonesia. (Liputan6.com/Pool/Biro Setpres)

Liputan6.com, Jakarta - World Economic Forum (WEF), lembaga non-profit yang didirikan di Jenewa, Swiss merilis indeks daya saing infrastruktur negara-negara di dunia. Menarik, peringkat Indonesia naik 10 tingkat.

Dalam laporan yang dipublikasikan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), data Global Competitiveness Index 2017 menunjukkan indeks daya saing infrastruktur Indonesia pada 2017-2018 berada di urutan ke-52 dari posisi sebelumnya di periode 2015-2016 yang masih berada di posisi 62.

Jika dibandingkan periode 2016-2017 yang di urutan 60, indeks daya saing infrastruktur Indonesia 2017-2018 mencatatkan kenaikan delapan peringkat.

Prestasi ini ikut mengerek indeks daya saing global Indonesia di kancah dunia. Periode 2017-2018, indeks daya saing global Indonesia lompat lima peringkat ke posisi 36 dari sebelumnya 41 di periode 2016-2017. Sementara di periode 2015-2016, ada di ranking 37.

"Pembangunan infrastruktur sebagai prioritas utama merupakan pilihan yang logis dan strategis dalam meningkatkan daya saing Indonesia, sekaligus untuk mengejar ketertinggalan," ujar Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono.

Infografis Indeks Infrastruktur Indonesia

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, kenaikan peringkat Indonesia ini menggambarkan Indonesia ‎merupakan negara yang menarik untuk berinvestasi. Hal ini penting bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan.

Dengan kenaikan peringkat daya saing tersebut, diharapkan mampu meyakinkan para investor untuk lebih banyak berinvestasi di Indonesia.

"Meski investasi dilakukan oleh pemerintah itu bukan berarti kita membuang uang. Tapi investor kan mengharapkan return. Pemerintah beda dengan korporasi. Saat pemerintah melalukan investasi, return yang diharapkan adalah ekonomi dan sosial return yang jauh lebih besar," kata dia.

Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartarto menyatakan, ‎kenaikan peringkat daya saing infrastruktur Indonesia, berdampak pada penurunan biaya logistik.  "Menurunkan logistic cost. Itu berapa penurunannya? Nanti dihitung lagi," kata dia.

Menurut Airlangga, penurunan biaya logistik akan membuat kegiatan sektor industri semakin efisien. Namun hal ini turut memicu penurunan harga penjualan barang pada tingkat pembeli, dia belum bisa memastikan. "Efisiensi, tergantung‎ (penurunan harga pada tingkat pembeli)," dia menambahkan.

 


Terasa 3 Tahun ke Depan

Suasana proyek LRT dikawasan Kuningan, Jakarta, Senin (1/1). Sejumlah proyek infrastruktur lain di Ibukota, seperti proyek Light Rail Transit tampak sepi aktifitas pengerjaan dikarenakan Libur Tahun Baru. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Anggota Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Johnny Darmawan mengatakan, pembangunan infrastruktur yang gencar dilakukan pemerintah akan jadi modal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Menurutnya, dulu salah satu faktor yang membuat ekonomi tidak jalan karena infrastruktur tidak memadai. Infrastruktur tersebut tidak hanya jalan tetapi bisa lainnya seperti pelabuhan, kilang minyak, listrik, dan segala macam.

"Sekarang infrastruktur sudah mulai banyak yang beroperasi," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com.

Contohnya, proyek pembangunan pembangkit listrik yang dicanangkan hingga 35 ribu megawatt (MW), akan mendorong kegiatan ekonomi baik bagi industri maupun masyarakat.

"Contoh lainnya pelabuhan dan bandara. Tanjung Priok sudah dibenahi, Karawang nanti ada Patimban. Pelabuhan dan bandara dapat terlihat dari pariwisata yang meningkat. Jadi menurut saya sudah banyak," jelas dia.

Namun demikian, pria yang menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Industri ini menyatakan, dampak dari pembangunan infrastruktur yang digalakkan pemerintah ini baru akan terasa dalam 2-3 tahun ke depan.

Selain itu, lanjut Johnny, yang masih harus menjadi perhatian pemerintah adalah soal kemudahan izin investasi. Sebab dengan adanya perbaikan infrastruktur, maka akan mendorong investasi masuk ke dalam negeri.

Pengamat Ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listianto mengakui bahwa pembangunan infrastruktur telah mengangkat capaian indeks daya saing infrastruktur dan daya saing global Indonesia.

"Indeks daya saing naik, artinya memang ada pembangunannya. Tapi dampak ekonominya saya lihat sejauh ini belum banyak terbukti," kata dia saat dihubungi Liputan6.com.

Eko menjelaskan, meski gencar membangun infrastruktur jalan, jembatan, pelabuhan, bandara, bendungan, sampai rumah bagi masyarakat miskin, dampaknya ke pertumbuhan ekonomi belum signifikan.

Dalam tiga tahun (2015-2017), pertumbuhan ekonomi Indonesia di era pemerintahan Jokowi selalu meleset dari target. Pada 2015, ekonomi nasional dipatok tumbuh 5,8 persen. Selanjutnya target tumbuh 5,1 persen di 2016, dan sebesar 5,2 persen pada 2017.

Akan tetapi, faktanya lebih rendah dari target. Realisasinya ekonomi Indonesia hanya tumbuh 4,88 persen di 2015, dan 5,02 persen di 2016, serta 5,07 persen pada 2017. 

 


Justru Banjir Impor

Bendungan Seigong (Foto: Kementerian PUPR)

Pemikiran Eko lainnya, saat pemerintah menggenjot pembangunan infrastruktur, menekan dwelling time, Indonesia justru dibanjiri barang-barang impor.

"Konsumsi online meningkat pesat karena infrastruktur dibangun, dwelling time membaik. Tapi kemudian barang yang dijual impor, yang menikmati negara lain, kita cuma jadi pasar sehingga ekonomi stagnan di angka 5 persen," terangnya.

Eko melihat terjadi kenaikan Nilai Tukar Petani (NTP) maupun upah buruh. Hanya saja, peningkatan ini diikuti juga oleh melambungnya harga pangan, seperti harga beras yang melonjak tinggi.

"Jadi masih ada gap karena kan tujuan membangun infrastruktur, mendekatkan barang ke konsumen sehingga harga lebih murah, tapi ini sebaliknya," ujarnya.

Pembangunan infrastruktur, diungkapkannya, hanya dinikmati masyarakat kelompok menengah ke atas. Mereka yang memiliki mobil, sambung Eko, mendapat keuntungan dari jalan tol yang tersambung dari satu daerah ke daerah lain.

"Mobilitas dan aktivitas masyarakat kelas menengah atas yang punya mobil lebih efisien dengan jalan tol. Tapi untuk masyarakat bawah masih jauh dari harapan karena akses kebutuhan pokok masih mahal," paparnya.

Secara keseluruhan Nawa Cita Presiden Jokowi dalam pembangunan infrastruktur, diakui Eko belum sepenuhnya terealisasi. Masih banyak kendala yang dihadapi, yakni pendanaan dan pembebasan lahan.

"Proyek-proyek besar masih terkendala dana, pembebasan lahan, dan keterlibatan swasta. Ini tantangannya. Tapi kan program prioritas ini tidak bisa direm tiba-tiba, karena kalau dihentikan akan terjadi kontraproduktif," jelasnya.

Oleh karena itu, dia menyarankan kepada pemerintah Jokowi untuk tidak menambah proyek-proyek infrastruktur baru dan fokus pada yang sudah ada.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya