Liputan6.com, Jakarta - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) merilis sebuah hasil penelitian mengenai jumlah penambahan lapangan kerja dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Hasil dari penelitian tersebut menyimpulkan bahwa penciptaan lapangan kerja di bawah pemerintahan Jokowi-JK pada tiga tahun ini terhitung masih belum kuat.
Ekonom senior Indef, Dradjad H Wibowo, mengatakan kinerja Jokowi-JK pada 2015 hingga 2017 dalam menciptakan lapangan kerja tercatat lebih rendah dibanding tiga tahun awal era pemerintahan sebelumnya pada masa SBY-Boediono atau pada 2010 sampai 2012.
"Menurut perhitungan yang kami lakukan, Rasio Penciptaan Kerja di era Jokowi-JK lebih rendah dibanding era SBY-Boediono," ucap dia dalam diskusi kajian Indef, "Mampukah Pemerintahan Jokowi-JK Ciptakan Lapangan Kerja?" di Jakarta, Selasa (20/12/2018).
Baca Juga
Advertisement
Untuk diketahui, Indef sendiri menggunakan dua indikator untuk menghitung rumusan Rasio Penciptaan Kerja (RPK) yang digagas mereka pada dekade 2000-an, yakni rata-rata tambahan jumlah penduduk bekerja dan pertumbuhan ekonomi.
Meskipun secara hitung-hitungan total Jokowi-JK berada di bawah SBY-Boediono dalam hal penciptaan kerja, RPK tertinggi dalam 10 tahun terakhir terjadi di era kepemimpinan mereka, tepatnya pada 2017.
Ia mencatat, terjadi peningkatan di luar kebiasaan terkait penciptaan lapangan kerja pada tahun lalu, yaitu 641.183, naik dari 2016 sebesar 338.312. Angka tersebut juga masih lebih tinggi dibanding RPK masa SBY-Boediono pada 2012, yang sebesar 589.104.
Walaupun upaya membuka lapangan kerja pada tiga tahun awal era Jokowi-JK masih kalah dari SBY-Boediono, mereka masih lebih baik dari tiga tahun awal kepemimpinan SBY-JK (2005-2007).
"Dampak kenaikan harga BBM di masa SBY-JK turut merusak penciptaan lapangan kerja. Itu menjelaskan kenapa pertambahan penduduk bekerja di era awal SBY-JK terhitung rendah," tukas Dradjad.
Kurangi Pengangguran
Sebelumnya, pemerintah tengah menyiapkan berbagai langkah dalam menghadapi era digitalisasi tanpa mengurangi jumlah lapangan kerja bagi masyarakat.
Seiring berkembangnya digitalisasi memang tidak dimungkiri akan mengurangi jumlah lapangan kerja di negara mana pun, begitu juga di Indonesia. Seperti yang sudah terjadi di jalan tol mulai 31 Oktober 2017.
Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengaku tengah melakukan kajian mengenai pengaruh seberapa besar pertumbuhan digitalisasi tersebut terhadap kesempatan kerja bagi masysarakat.
Meski masih dalam kajian, salah satu strategi yang disiapkan pemerintah dalam menghadapi digitalisasi ekonomi tersebut adalah meningkatkan kualitas pendidikan vokasi.
"Pendidikan vokasi ini jelas-jelas yang saat ini kita lakukan untuk mengantisipasi masuknya digitalisasi ini. Karena menurut saya tidak semua bisa didigitalisasikan," kata Bambang di kantornya, Senin, 13 November 2017.
Disebutkannya, beberapa posisi yang tidak bisa didigitalisasi tersebut di antaranya seperti jasa potong rambut, jasa membersihkan rumah, dan lain sebagainya.
Berbagai jasa tersebut dikatakan Bambang hanya membutuhkan sumber daya yang berkualitas dan terampil. Hal inilah yang disiapkan melalui peningkatan program vokasi tersebut.
Diakui Bambang, dalam beberapa tahun sebelumnya memang tidak ada sinkronisasi antara kurikulum pendidikan vokasi dan kebutuhan tenaga kerja di lapangan. Alhasil, tingkat pengangguran lulusan vokasi lumayan tinggi.
"Makanya kita sekarang sedang perbaiki kurikulumnya, gurunya dan lulusanya itu sendiri. Kalau dulu vokasi itu jurusannya hanya umum-umum saja, seperti listrik, mesin, dan lainnya, kini harus ada jurusan industri kreatif, ekonomi digital dan lain sebagainya," ungkap Bambang.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Advertisement