Liputan6.com, Jakarta - Harga emas kembali tertekan pada perdagangan Selasa karena kenaikan nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS). Namun tekanan yang dihadapi emas tak terlalu besar karena adanya dukungan dari ketidakpastian politik mengenai lelang obligasi AS.
Mengutip Reuters, Rabu (21/2/2018), harga emas di pasar spot turun 1,3 persen menjadi US$ 1.328,71 per ounce pada pukul 1.35 siang waktu New York.
Sedangkan kontrak berjangka emas AS untuk pengiriman April turun US$ 25 atau 1,8 persen, ke level US$ 1.331,20 per ounce.
Baca Juga
Advertisement
Dolar AS mulai rebound atau kembali naik dari posisi terendah dalam tiga tahun karena ivestor mengabaikan kekhawatiran defisit anggaran AS dan mulai berfokus kepada lelang utang pemerintah AS pada pekan ini.
"Harga emas berada di bawah tekanan dolar AS yang menguat secara signifikan. Selain itu, kenaikan suku bunga juga menjadi tekanan bagi harga emas," jelas analis RJO Futures, Phillip Streible.
Departemen Keuangan AS akan menjual lebih dari US$ 250 miliar utang baru pada minggu ini, yang menurut para analis akan menjadi daya tarik utama bagi investor internasional untuk menyimpan aset AS.
Dengan rencana tersebut dolar AS menjadi bahan incaran bagi investor sehingga mengalami kenaikan dan menekan harga emas.
Prediksi Analis
Di awal pekan, analis memperkirakan harga emas akan terus mengalami penguatan pada perdagangan pekan ini seiring dengan tren pelemahan nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS).
Harga emas menemukan momentum baru pada pekan lalu karena nilai tukar dolar AS tidak mampu menembus angka resistance dan kemudian terdorong ke level terendah dalam tiga tahun.
Menurut beberapa analis, pelemahan dolar AS menjadi tenaga yang paling signifikan bagi harga emas. Pada penutupan pekan lalu, harga emas berjangka berada di angka US$ 1.355 per ounce, naik 3 persen jika dibandingkan dengan pekan sebelumnya. Merupakan presentase kenaikan yang terbaik dalam dua tahun.
"Dengan adanya ketidakpastian atau bisa disebut pelemahan nilai tukar dolar AS maka sudah pasti orang akan menyukai emas," jelas Neil Mellor, analis senior BNY Mellon, dikutip dari Kitco, Senin (19/2/2018).
Mellor melanjutkan sebenarnya ada sentimen negatif pada dolar AS setelah Kongres AS menyetujui adanya aksi pemotongan pajak perusahaan maupun pribadi.
Dengan adanya pengurangan pajak tersebut besar kemungkinan defisit anggaran pemerintah semakin besar sehingga memberikan beban kepada nilai tukar dolar AS.
"Sekarang bertambah dengan adanya ancaman inflasi naik dan ekonomi melambat," tambah dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Advertisement