PSI Akan Ajukan Uji Materi UU MD3 ke MK

Menurut Grace, pasal-pasal dalam UU MD3 dapat mengakibatkan DPR menjadi lembaga yang adikuasa, anti kritik, dan kebal hukum.

oleh Ika Defianti diperbarui 22 Feb 2018, 06:48 WIB
Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia, Grace Natalie bersama perwakilannya saat berkunjung ke SCTV Tower, Jakarta, Selasa (10/10). (Liputan6.com/Fatkhur Rozaq)

Liputan6.com, Jakarta - Partai Solidaritas Indonesia (PSI) rencananya akan mengajukan judicial review atau uji materi Undang-Undang MPR, DPR, DPD dan DPRD atau UU MD3 ke Mahkamah Konstitusi.

Ketua Umum PSI Grace Natalie menyatakan, uji materi diajukan berawal dari pernyataan responden dari hasil polling yang dilakukan di media sosial terkait UU MD3.

Grace menyebut, dalam UU MD3 terdapat tiga pasal yang dinilai dapat mencederai demokrasi yang ada. Ketiga pasal itu yakni Pasal 73 tentang pemanggilan paksa, Pasal 122 huruf k tentang contempt of parliament, dan Pasal 245 tentang hak imunitas anggota dewan.

Menurut Grace, pasal-pasal itu dapat mengakibatkan DPR menjadi lembaga yang adikuasa, anti kritik, dan kebal hukum.

"Revisi UU MD3 itu mencederai demokrasi, para anggota DPR itu memperlihatkan watak mereka yang menutup diri terhadap suara kritis rakyat sebagai konstituen," kata Grace di Jakarta, Rabu (21/2/2018).


Pasal 73 dan 245

Menkumham Yasonna Laolly menyerahkan pandangan akhir pemerintah soal RUU MD3 kepada Wakil Ketua DPR Fadli Zon saat Rapat Paripurna Pengesahan RUU MD3 menjadi UU, Jakarta, Senin (12/2). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Sementara itu, Advokasi dari PSI yakni Jangkar Solidaritas Komaruddin menyoroti Pasal 122 huruf k. Pasal itu disebutkan dapat membuat rakyat takut untuk mengkritik DPR.

Karena itu, dia menginginkan anggota dewan tidak melakukan upaya untuk mengkriminalisasi rakyat yang kritis.

Untuk Pasal 73, dia menyebut sangat berpeluang menyeret kepolisian ke ranah politik. Bahkan sekaligus dapat merendahkan fungsi kepolisian dalam melakukan penegakan hukum.

"Bila pemanggilan paksa oleh DPR terjadi, masyarakat atau pemohon akan tidak berani mengontrol perilaku DPR yang telah dipilih rakyat itu sendiri. Pemanggilan ini adalah bentuk pembungkaman suara kritis rakyat terhadap DPR atas kinerja mereka yang buruk," ujar Komaruddin.

Untuk Pasal 245, Komaruddin menyebut itu juga melawan konstitusi. Sebab, imunitas itu berlaku untuk semua tindakan tindak pidana yang dilakukan oleh anggota dewan.

"Padahal hak imunitas diberikan oleh Konstitusi kepada anggota DPR hanya terkait dengan tugas anggota DPR," jelas Komaruddin.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya