Liputan6.com, Jakarta Kementerian Pertanian (Kementan) diminta mengevaluasi sejumlah kebijakan pada sektor pertanian di Indonesia. Mulai dari kebijakan cetak sawah hingga program intensifikasi seperti pupuk, benih serta peningkatan kesejahteraan petani yang dinilai belum berjalan dengan optimal.
Anggota Komisi IV DPR dari Fraksi Golkar Ichsan Firdaus mengaku pihaknya sengaja memotong anggaran yang cukup besar pada program cetak sawah.
Advertisement
Pemotongan dilakukan karena Dewan melihat terdapat masalah terkait implementasi program cetak sawah, salah satunya berkaitan dengan masalah pengairan (irigasi).
“Irigasi itu bukan hanya kewenangan Kementan, ada juga di Pekerjaan Umum (PU). Makanya, saya mendesak Kementan segera berkoordinasi,” ujar dia, Kamis (22/2/2018).
Dia juga berharap Kementan tidak gampang mengklaim bila Indonesia berhasil mencapai surplus beras. Sementara setiap tahun pemerintah masih mengimpor beras, seperti pada 2018 ini. Harga beras di Indonesia pun masih tinggi.
Dia menilai, kebijakan impor juga akibat data produksi dan luas tanam beras nasional yang tidak akurat.
Senada, Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yeni Sucipto menuturkan, evaluasi komprehensif terhadap anggaran dan hasil (output) kinerja Kementerian Pertanian perlu dilakukan guna menghindari terjadinya pemborosan anggaran.
“Anggaran untuk berbagai program kedaulatan pangan selama tiga tahun ini terlihat sangat besar,” kata dia.
Adapun periode 2015 sampai 2017, pemerintah menggelontorkan anggaran total mencapai Rp 84,58 triliun ke Kementan sebagai biaya operasional dan berbagai program. Pada 2018, pemerintah dalam APBN mengucurkan dana ke instansi ini sebesar Rp 22,6 triliun.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Ingin Swasembada Pangan, RI Kucurkan Rp 23 Triliun
Kementerian Pertanian (Kementan) mengalokasikan sebesar Rp 23,8 triliun untuk program Upaya Khusus (UPSUS) Swasembada Pangan 2015-2017. Sebagian besarnya digunakan untuk peningkatan produksi padi, jagung, dan kedelai.
Sekretaris Jenderal Kementan, Hari Priyono mengungkapkan, anggaran tersebut akan dipakai untuk meningkatkan produktivitas padi, jagung, dan kedelai, serta komoditas rempah-rempah.
"Dana sekitar Rp 23 triliun itu digunakan untuk program yang sudah kita laksanakan satu dua tahun ini, yaitu peningkatan produktivitas jagung, padi, kedelai, dan rempah lainnya," ucap dia di kantornya di Jakarta, Senin (29/1/2018).
Baca Juga
"Dalam rangka peningkatan produktivitas padi, jagung, dan kedelai itu, ada rehabilitasi jaringan irigasi. Kemudian ada pengembangan alat mekanisasi," Hari menambahkan.
Sementara itu, Direktorat Jenderal Perkebunan Kementan juga diberikan anggaran sebesar Rp 2,7 triliun. Dana itu dialokasikan untuk benih dan pupuk tanaman perkebunan, seperti rempah-rempah, tanaman semusim, tanaman penyegar, dan tanaman tahunan.
"Dari total anggaran yang kita dapatkan, paling banyak dipakai di sarana prasarana, sekitar Rp 6 triliun. Sama di tanaman pangan untuk mencapai swasembada pangan semisal padi, jagung, dan kedelai," pungkas dia.
Untuk diketahui, Kepala Bagian Penelitian Center for Indonesian Policy Studies Hizkia Respatiadi mengatakan, kondisi Indonesia saat ini sangat jauh berbeda pada saat swasembada tercapai di era pemerintahan Presiden Soeharto.
Perubahan-perubahan yang ada antara lain adalah jumlah penduduk yang terus meningkat. Laju pertambahan penduduk Indonesia terjadi sangat cepat.
"Jumlah penduduk yang bertambah harus diikuti dengan kemampuan lahan pertanian untuk menyediakan pangan untuk mereka," jelas dia dalam keterangan tertulis, Rabu (24/1/2018).
Hal ini sangat terkait dengan perubahan lainnya yaitu semakin terbatasnya jumlah lahan yang bisa digunakan untuk pertanian.
Gencarnya industrialisasi dan pembangunan infrastruktur menggerus lahan-lahan pertanian masyarakat. Hal ini berakibat pada tidak maksimalnya hasil produksi beras, baik secara ekstensifikasi maupun intensifikasi.
Jumlah petani juga terus berkurang seiring dengan berkurangnya akses mereka terhadap kepemilikan lahan. Selain itu, regenerasi di kalangan petani juga berjalan relatif lambat karena generasi muda tidak tertarik untuk menjadi petani sehingga swasembada pangan, khususnya beras diperkirakan sulit tercapai.
"Belum lagi sistem irigasi yang sangat tergantung dengan air bersih. Air kini juga rentan pencemaran,” ungkapnya.
Advertisement