Liputan6.com, Jakarta - Ekonom dan Mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Rizal Ramli menyatakan, pendapatan per kapita Indonesia sudah jauh tertinggal dari negara lain. Kondisi ini terjadi karena terhambatnya pertumbuhan ekonomi nasional.
Menurutnya, banyak kemajuan yang dialami Indonesia. Ekonomi Indonesia rata-rata tumbuh 5 persen. Hanya saja, sambung Rizal, yang menikmati pertumbuhan ekonomi itu adalah masyarakat kalangan atas. Sementara menengah ke bawah hidup dalam keterbatasan.
Baca Juga
Advertisement
"Setiap tahun tumbuh 5,6 persen, siapa yang menikmati? 20 persen orang Indonesia yang paling atas sudah menikmati kemerdekaan dan kemajuan. Sedangkan 40 persen masyarakat menengah pas-pasan, dan sisanya 40 persen paling bawah belum menikmati kemerdekaan. Sekolah susah, makan susah, paling cuma makan mi instan," kata Rizal Ramli di Jakarta, Kamis (22/2/2018).
Hal ini tercermin dari pendapatan per kapita Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pendapatan per kapita Indonesia pada 2016 mencapai Rp 47,96 juta atau senilai US$ 3.605,06.
"Tapi begitu kita gunakan pendapatan antar negara atau cross country, baru ketahuan kita ketinggalan. Pendapatan per kapita tertinggal dari negara-negara tetangga, China, Vietnam, jauh kita. Dari pendidikan saja, kita nomor 40 di dunia," Rizal menambahkan.
Hal itu terjadi karena terhambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Rizal bilang, penyebab pertumbuhan ekonomi terhambat bukan hanya karena praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
"Tapi untuk menjelaskan kenapa pertumbuhan ekonomi Indonesia tertinggal hanya karena KKN, itu missleading," paparnya.
Dia mengatakan, perlu ada keberanian agar ekonomi Indonesia bisa maju dan tak tertinggal dari negara-negara tetangga.
"Orang kita banyak yang pintar, tapi kurang inovasi. Negara harus berani inovasi, berani uji coba," tutup Rizal Ramli.
Tonton Video Pilihan di Bawah Ini:
Indeks Daya Saing RI Lompat 10 Peringkat
Pemerintah Joko Widodo (Jokowi) sudah menghabiskan Rp 985,2 triliun untuk membangun infrastruktur selama tiga tahun terakhir (2015-2017). Hasilnya, indeks daya saing infrastruktur Indonesia periode 2017-2018 naik 10 peringkat, berdasarkan World Economic Forum (WEF).
Dikutip dari akun Instagram Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Jakarta, Senin (19/2/2018), data Global Competitiveness Index 2017 menunjukkan indeks daya saing infrastruktur Indonesia pada 2017-2018 berada di urutan ke-52.
Peringkat tersebut menanjak 10 peringkat dari posisi sebelumnya di periode 2015-2016 yang masih berada di posisi 62. Jika dibanding periode 2016-2017 yang di urutan 60, indeks daya saing infrastruktur Indonesia 2017-2018 mencatatkan kenaikan delapan peringkat.
Prestasi ini ikut mengerek indeks daya saing global Indonesia di kancah dunia. Periode 2017-2018, indeks daya saing global Indonesia lompat lima peringkat ke posisi 36 dari sebelumnya 41 di periode 2016-2017. Sementara di periode 2015-2016, ada di ranking 37.
"Pembangunan infrastruktur sebagai prioritas utama merupakan pilihan yang logis dan strategis dalam meningkatkan daya saing Indonesia, sekaligus untuk mengejar ketertinggalan," ujar Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, anggaran infrastruktur yang sudah digelontorkan setiap tahun meningkat. Tercatat sudah Rp 985,2 triliun yang disedot pemerintah untuk membangun infrastruktur dalam kurun waktu 2015-2017, seperti jalan nasional, jalan tol, bandara, pelabuhan, irigasi, bendungan, rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah, dan proyek lainnya.
Anggaran infrastruktur pada 2015 sudah dialokasikan Rp 281,7 triliun, naik menjadi Rp 316,6 triliun pada 2016. Kemudian meningkat lagi menjadi Rp 386,9 triliun pada tahun lalu. Tahun ini, anggaran infrastruktur naik Rp 23,8 triliun menjadi Rp 410,7 triliun.
Advertisement