Liputan6.com, Jakarta - Beberapa tahun ini kita sering melihat banyaknya pengemudi konvensional di berbagai negara melancarkan protes besar-besaran terhadap pengemudi online.
Fenomena itu adalah gejolak yang terjadi saat teknologi melakukan perubahan drastis pada kehidupan manusia.
Advertisement
Gejolak yang terjadi karena ada kalangan yang memilih mengikuti perkembangan teknologi, dan malah ada kalangan yang tidak mengikuti perkembangan.
Transportasi online hanyalah satu contoh, kelak akan banyak lagi inovasi-inovasi terbaru yang akan mengubah pola hidup manusia.
Contohnya, sekarang kecerdasan buatan (artificial intelligence, AI) sudah semakin gencar, juga adanya inovasi blockchain, rumah pintar bahkan microchip yang ditanam ditubuh manusia untuk berbagai keperluan.
Lantas bagaimana harusnya sikap kita?
Managing Director PHD Media Roy Simangunsong menyarankan agar jangan menghindari teknologi, karena perkembangan teknologi hanyalah masalah waktu, sehingga menghindarinya adalah percuma.
"Semua teknologi tidak bisa dihindarkan. Teknologi, it's just the matter of when (teknologi, ini hanya masalah kapan)," ungkapnya pada acara diskusi tentang inovasi masa depan, di SCTV Tower, Jakarta, Kamis (22/2/2018).
PHD Media sebagai perusahaan yang punya spesialisasi di bidang komunikasi dan strategic thinking dalam level global memang telah mendalami pengaruh teknologi pada masyarakat.
Kehidupan Manusia Akan Seperti di Film Fiksi Ilmiah
Kehadiran AI di dalam kehidupan manusia sehari-hari memang terdengar seperti di film-film, nyatanya masa depan umat manusia memang akan semakin mendekati film fiksi ilmiah. Demikian prediksi PHD media yang percaya masa depan umat manusia dan teknologi akan terhubung erat.
PHD mengedepankan ide yang dirlis dalam buku berjudul 'Merge', yang berati penggabungan. Di dalam rilisnya, PHD membeberkan beberapa teknologi yang dapat menghubungkan manusia dengan mesin.
Dalam konferensi yang akan diadakan di Jakarta, PHD membahas beberapa teknologi yang dapat "bergabung" dengan manusia.
Beberapa di antaranya adalah "penyewaan" jaringan otak untuk kapasitas ingatan manusia, microchip tidak terlihat dan nano-bots yang akan mampu memonitor kesehatan dan memprediksi ancaman penyakit, rumah dan kota cerdas, mobil yang berkendara sendiri, dan banyak lagi.
PHD pun optimistis, sejumlah teknologi yang disebutkan di atas dapat terjadi hanya dalam 30 tahun ke depan.
Advertisement
Negara-negara Maju di Asia Berlomba Meneliti AI
Di Asia, Tiongkok siap menghabiskan banyak dana untuk mengembangkan kecerdasan buatan. Jepang dan Singapura juga turut ikut meneliti.
Tercatat, semenjak 2011-2015, Tiongkok merilis sekitar 41.000 publikasi terkait kecerdasan buatan, peringkat selanjutnya ada Amerika Serikat dengan 25.500 publikasi, dan selanjutnya ada negara Asia lain yakni Jepang yang merilis 11.700 publikasi. Demikian laporan Times Higher Education pada 2017.
Meskipun Tiongkok memiliki jumlah publikasi terbesar, ternyata Singapura dan Hongkong yang justru menempati peringkat atas dalam hal sitasi publikasi terkait kecerdasan buatan. Dalam hal sitasi, Tiongkok hanya peringkat 34.
Institusi yang berasal dari Singapura juga mendominasi peringkat 10 besar dalam daftar sitasi tentang kecerdasan buatan.
Ada dua universitas dari Singapura yang masuk 10 besar universitas dengan sitasi tertinggi untuk bidang kecerdasan buatan, yakni Universitas Teknologi Nanyang yang berada di peringkat ketiga dan Universtias Nasional Singapura yang berhasil menduduki peringkat kesembilan.
(Tom/Isk)
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini: