Liputan6.com, Jakarta - Aturan wajib lapor saldo rekening nasabah domestik di atas Rp 1 miliar oleh lembaga keuangan kepada Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan diyakini ampuh melacak kepatuhan pajak dari para wajib pajak besar atau orang-orang kaya di dalam negeri.
"Melihat dari beberapa riset, ada sekitar 48 ribu orang Indonesia yang punya kekayaan lebih dari US$ 1 juta. Sudah punya kekayaan segitu gede, tapi kok enggak terlihat dari data penerimaan pajak kita? Berarti ada yang salah, mungkin kepatuhan pajak orang kaya kita masih rendah," ungkap Pengamat Perpajakan dari Danny Darussalam Tax Center (DDTC), Bawono Kristiaji di Jakarta, Jumat (23/2/2018).
Baca Juga
Advertisement
Dia menilai, kepatuhan pajak orang kaya sulit terpantau atau terdeteksi karena kemudahan akses dan fasilitas yang mereka miliki.
Kebijakan wajib lapor saldo rekening ini, lanjut Bawono, sejalan dengan Undang-Undang Nomor 9 tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan. Dengan melihat saldo rekening nasabah atau wajib pajak di lembaga keuangan, menurutnya bisa diselaraskan dengan laporan data kepemilikan harta pada Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh).
"Dengan adanya akses informasi keuangan, Ditjen Pajak bisa memetakan mana yang sebenarnya sudah patuh (pajak) atau belum," papar Bawono.
Indikasi akan ada modus atau praktik pecah saldo rekening, dia belum bisa menjawab secara pasti. Menurutnya, sebelum ada dugaan tersebut, Ditjen Pajak bisa melacak dengan membandingkan jumlah orang yang memiliki kekayaan di atas Rp 1 miliar, pada saat sebelum dan sesudah UU tersebut disusun.
"Ada penambahan atau pengurangan jumlah rekeningnya enggak? Kalau ada pengurangan, baru kita bisa punya kecurigaan ada praktik pemecahan saldo rekening," pungkas Bawono.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
DJP Kejar Pajak Jualan Online via Instagram dan Facebook
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan mengenakan pajak kepada para pedagang online yang berjualan di Instagram, Facebook, dan media sosial (medsos) lainnya. DJP tengah menggodok aturan tersebut.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (Humas) DJP, Hestu Yoga Saksama mengungkapkan, pemerintah sedang menyusun aturan pajak perdagangan online (e-commerce), khususnya bagi marketplace.
Marketplace merupakan lapak online atau media yang digunakan untuk memasarkan sebuah produk. Contohnya, Bukalapak, Lazada, Tokopedia, dan lainnya yang digunakan untuk membangun toko online.
"Bukan berarti kalau marketplace e- commerce duluan (dikenakan pajak), yang lain tidak kena (jualan di medsos)," ujar Hestu Yoga di Jakarta, Senin (19/2/2018).
Dia mengaku, karakteristik antara marketplace dan berjualan online di Instagram, Facebook maupun media sosial lain sangat berbeda. Namun bukan berarti jualan online di medsos bisa lepas dari kewajiban membayar pajak.
"Bukan berarti yang melalui medsos tidak bayar pajak. Mereka tetap harus melaksanakan kewajiban perpajakan dengan self assessment. Yang jualan di Instagram, ya lapor penghasilannya dari situ berapa di SPT Pajak," jelasnya.
DJP, tegas Hestu Yoga, akan mengawasi secara konsisten kegiatan atau aktivitas penjualan pelaku usaha di medsos.
"Jadi sesuai ketentuan, mereka tetap lapor, bayar pajak, tapi tidak melalui mekanisme marketplace," dia menuturkan.
Hestu Yoga menambahkan, DJP akan tetap mencari cara yang lebih baik dan efisien untuk menjangkau pajak pengusaha yang berjualan via medsos, dan di luar marketplace.
"Regulasi e-commerce (termasuk jualan di Instagram) masih dibahas intensif dengan BKF dan Bea Cukai Kemenkeu. Kita juga akan ketemu dengan pelaku e-commerce lagi untuk mematangkan soal itu. Mudah-mudahan bisa segera keluar," jelas dia.
Advertisement