Kepatuhan Pajak Masih Rendah Pengaruhi Penerimaan Negara

Pengamat prediksi short fall pajak akan tetap terjadi pada 2018 apalagi jika target penerimaan pajak tak direvisi.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 23 Feb 2018, 21:28 WIB
Ilustrasi Foto Pajak (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta Tren shortfall atau minusnya pencapaian penerimaan pajak, diprediksi kembali berlanjut pada tahun ini. Meskipun realisasi pajak yang diterima pada Januari 2018 tercatat sebagai yang terbesar dalam empat tahun terakhir, namun beberapa faktor seperti rendahnya rasio penerimaan pajak (tax ratio) masih akan membuat target perolehan pajak negara tahun ini negatif dari target.

Pengamat perpajakan Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji menilai, tax ratio turut dipengaruhi oleh faktor elastisitas pajak atau tax buoyancy. Dia mengatakan, angka ideal dari tax buoyancy adalah 1, atau berimbangnya perolehan produk domestik bruto (PDB) dengan skor penerimaan pajak.

"Tapi, tax buoyancy kita kurang dari 0,8 pada 2017. Mungkin cuma kisaran 0,5 atau 0,6. Artinya, 1 persen pertumbuhan PDB enggak diikuti pertumbuhan penerimaan pajak yang 0,5 persen," tukas dia di Jakarta, seperti dikutip Jumat (23/2/2018).

Bawono menyebutkan, kurangnya faktor elastisitas pajak akan menyebabkan penurunan rasio penerimaan pajak negara. Tax ratio Indonesia sendiri pada 2017 menurun dari tahun sebelumnya, yakni dari 11,3 persen jadi 10,7 persen.

Dia melanjutkan, hal tersebut patut diwaspadai, lantaran target reformasi pajak untuk tax ratio adalah sebesar 15 persen. "Sekarang baru 10,8 persen, itu masih agak jauh. Padahal tax ratio idealnya minimal 12,75 persen," sebutnya.

Sebelumnya Bawono sempat mengkaji, target pajak 2018 sebesar Rp 1.423,9 triliun dianggap sulit tercapai. Itu lantaran realisasi penerimaan pajak pada 2017 maksimal hanya Rp 1.145 triliun. Dia juga memprediksi, estimasi penerimaan pajak tahun ini ada di kisaran Rp 1.219,2 triliun sampai Rp 1.242,1 triliun, atau terjadi shortfall Rp 181,8 triliun.

Lebih lanjut ia menduga, penyebab terjadinya tren shortfall tersebut lantaran lemahnya kebijakan pajak, atau rendahnya kepatuhan pajak para Wajib Pajak (WP). Itu turut tercermin dari data penerimaan pajak negara yang tidak elastis dengan pertumbuhan ekonominya.

"Kalau mau target tax ratio 15 persen tercapai, perbaiki dulu tax buoyancy. Itu mencerminkan seberapa elastis pertumbuhan penerimaan pajak terhadap pertumbuhan ekonomi," ujar dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 


Setoran Perpajakan Rp 82 Triliun pada Awal 2018

Ilustrasi Pajak (iStockphoto)​

Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati melaporkan, penerimaan perpajakan terdiri dari pajak dan bea cukai mencapai Rp 82,5 triliun hingga 31 Januari 2018. Angka ini tumbuh 11,4 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya atau 5,1 persen dari target yang sebesar Rp 1.618,1 triliun di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018.

Sri Mulyani menjelaskan, hingga 31 Januari 2018, PPh nonmigas tercatat sebesar Rp 41,7 triliun, atau tumbuh 14,9 persen. Untuk PPN dan PPnBM tercatat mencapai Rp 32,3 triliun atau tumbuh 9,4 persen yang didorong oleh konsumsi dan kinerja impor.Sedangkan PPh migas tercatat sebesar Rp 4,5 triliun atau tumbuh 1,2 persen. Hal ini sejalan dengan masih tingginya harga minyak mentah Indonesia (ICP).

"Penerimaan PPh nonmigas tanpa tax amnesty, maka growth-nya itu mencapai 16,3 persen. Kalau dengan tax amnesty dengan 14,9 persen. PPN dan PPnBM tahun lalu tumbuh cukup tinggi, tahun ini pertumbuhannya pada Januari 9,4 persen, dan untuk PBB masih negatif 121,3 persen," ujar dia saat konferensi pers APBN KITA di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Selasa 20 Februari 2018.

Dengan demikian, Sri Mulyani menyebut, total penerimaan yang dikumpulkan Ditjen Pajak mencapai Rp 78,94 triliun hingga 31 Januari 2018. Realisasi tersebut meningkat 11,17 persen dibanding periode yang sama 2017 sebesar Rp 71,01 triliun.

"Kalau tanpa tax amnesty peningkatannya (penerimaan pajak) 11,88 persen," ujarnya.

Sementara untuk setoran cukai hingga 31 Januari 2018 tercatat sebesar Rp 400 miliar atau tumbuh 48,3 persen. Kemudian bea masuk tercatat Rp 2,8 triliun atau tumbuh 13,7 persen dan penerimaan bea keluar Rp 400 miliar atau tumbuh 18,4 persen.

Menurut Sri Mulyani, yang paling menggembirakan dari data ini yaitu pertumbuhan penerimaan dari PPh Orang Pribadi sebesar 33,18 persen dan PPh Badan yang tumbuh 43,66 persen. Hal ini menunjukkan rasio pajak terus mengalami peningkatan.

"PPh pasal 21 kita growth-nya di Januari 16,09 persen, tahun lalu hanya 5,12 persen. PPh Orang Pribadi growth-nya mencapai 33,18 persen kalau dibanding tahun lalu hanya 3,92 persen. Yang lebih spektakuler adalah PPh Badan, kalau dilakukan ijon pasti Januari drop. Makanya kita mendapatkan -43,36 persen tahun lalu. Tahun ini peningkatannya 43,66 persen," terangnya.

"Untuk PPh 22 impor growth-nya 26,83 persen, tahun lalu 9,37 persen. PPN impor 24,90 persen dan tahun lalu 20,21 persen. PPnBM growth-nya 32,65 persen, tahun lalu -46,42 persen" tandas Sri Mulyani.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya